Mendewasakan HMI

Mendewasakan Demokrasi
Inggrid Galuh Mustikawati ;  Peneliti Sistem Nasional
Pemantauan Kekerasan di The Habibie Center 
REPUBLIKA, 27 April 2013



Kedewasaan berdemokrasi kembali dipertanyakan oleh sejumlah kalangan ketika pesta demokrasi lagi-lagi dihiasi dengan kekerasan yang memakan korban jiwa. Belum lama ini insiden kekerasan yang terjadi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, menunjukkan serangkaian tindakan anarkis dan brutal. Biang pemicunya adalah pemilihan kepala daerah (pemilukada).

Ke depan, pada 2013 ini akan terselenggara 14 pemilukada di tingkat provinsi, dan 123 di tingkat kabupaten, dan 25 di tingkat kota berdasarkan jadwal pemilukada yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini berarti, akan ada potensi konflik ke depan yang mungkin terjadi jika serangkaian insiden serupa sebelumnya terulang kembali. 

Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) pun memiliki catatan yang akurat terkait kekerasan akibat pemilukada dan dampaknya. SNPK merupakan sebuah terobosan dalam sistem informasi menyediakan data dan analisis tentang konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. 

Program SNPK yang dipimpin oleh Kemenkokesra dengan dukungan dari Bank Dunia dan The Habibie Center ini baru mencatat kekerasan pemilukada di sembilan provinsi yang dipantau. Data SNPK yang diunduh pada 8 April 2013 sepanjang 2005 sampai 2012 mencatat sebanyak 188 insiden kekerasan akibat pemilukada di tingkat provinsi yang meng akibatkan 11 tewas, 161 cedera, dan 74 bangunan rusak. 

Sepanjang 2005 sampai 2012, data SNPK juga mencatat sebesar 38 persen insiden kekerasan terkait pemilukada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terjadi di Provinsi Aceh dan 15 persen terjadi di Provinsi Maluku Utara, namun dampak tewas paling besar terjadi di Papua sebesar 79 persen.
Serangkaian insiden kekerasan yang sebagian besar terjadi dalam bentuk perusakan, penganiayaan, demonstrasi, dan bentrokan ini sebagai akibat dari ketidakpuasan salah satu pendukung calon kepala daerah atas proses dan hasil pelaksanaan pemilukada. 

Di samping itu, kekerasan yang terjadi sering kali dipicu oleh ketidakjelasan aturan main pemilukada sehingga kerap diinterpretasikan secara berbeda oleh para calon kepala daerah tersebut. Sejumlah praktik politik uang, ketidaknetralan media massa dalam pemberitaan dan kampanye gelap tim calon kepala daerah memperkeruh keadaan sehingga kekerasan sering kali tidak dapat terhindarkan. 

Cara penyelesaian atas ketidakpuasan tersebut pun kemudian beragam, mulai dari cara licik dan anarkis sampai dengan cara elegan melalui jalur hukum. Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pemilukada, yakni enam provinsi, 53 kabupaten, dan 18 kota. Data MK mencatat sebanyak 77 persen pemilukada yang disengketakan ke MK ini berasal dari empat provinsi, 43 kabupaten, dan 12 kota. 

Berbagai pihak pun mulai mengedepankan wacana untuk mengevaluasi pelaksanaan pemilukada khususnya di tingkat kabupaten dan kota mengingat kekerasan akibat pemilukada pada level tersebut lebih sering terjadi. Salah satunya adalah dukungan penuh dari Kementerian Pertahanan agar segera di lakukan evaluasi terhadap sistem pemilukada. 

Di samping itu, mekanisme sistem keamanan setiap daerah sebenarnya telah digariskan dalam Inpres No 2/2013 tentang Keamanan dan Ketertiban Dalam Negeri yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gubernur sebagai pemegang pemerintahan daerah tertinggi yang ber- tanggung jawab atas keamanan di wi layahnya. 

Meskipun dinodai dengan kekerasan, penyelenggaraan pemilukada menjadi momentum bersejarah yang menandakan langkah maju dalam berdemokrasi. Tidak hanya di tangan pemerintah, penyelesaian permasalahan kekerasan yang mewarnai proses pemilukada di setiap tingkatan sepatutnya menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi partai politik peserta pemilihan umum.

Idealnya, partai politik memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pendidikan politik bagi para anggota dan simpatisannya, sehingga tidak hanya mengedepankan kepentingan elite. Kedewasaan berdemokrasi hanya akan didapat dari proses edukasi secara terus-menerus.

Di sisi lain, menjadi tantangan besar pula bagi aparat penegak hukum bahwa serangkaian aksi kekerasan dalam proses pemilukada perlu ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya sehingga dapat meminimalisasi tindak kekerasan lanjutan. Pelaku kekerasan harus dihukum secara tegas sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan. 

Terakhir, peran pemangku kebijakan sepertinya perlu mempertimbangkan kembali dan mengevaluasi peraturan dan tata cara pelaksanaan pemilukada dengan mem buat aturan yang jelas dan transparan sehingga dapat menghindarkan terjadinya multitafsir. Jika setiap proses dilakukan sesuai dengan prosedur yang ketat dan trans paran, diikuti dengan netralitas penyelenggara pemilukada di daerah yang tidak berpihak, serta adanya tim pengawas yang independen, penghapusan pemilukada di tingkat kabupaten dan kota sebagaimana direncanakan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menjadi suatu hal yang tidak urgen untuk dilakukan.

Penghapusan mekanisme pesta demokrasi di tingkat kabupaten dan kota yang berdasarkan catatan SNPK memiliki insiden kekerasan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pemilukada di tingkat provinsi, menjadi suatu hal yang tidak perlu dilakukan oleh pemerintah. Sistem pemilihan baik secara langsung maupun tidak langsung masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri. 

Namun, semangat demokrasi terletak pada keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses demokrasi yang sedang dibangun. Untuk itu, pendidikan politiklah yang seharusnya me nyertai proses demokrasi sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi. Dengan demikian, bukan sistem pemilihan yang diganti, namun perbaikan tata cara pemilukada, pendidikan politik yang berkesinambungan, serta penegakan hukum menjadi faktor-faktor yang harus lebih diutamakan untuk diselesaikan oleh pemerintah.