Artis dan Priayi
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
KORAN TEMPO, 21 Oktober 2014
Kemarin, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina menikah. Ritual pernikahan mereka ditayangkan oleh stasiun televisi Trans TV selama belasan jam. Media yang menyiarkan dinilai telah menyalahgunakan kuasanya dalam mengelola frekuensi publik. Banyak pula orang yang sinis terhadap acara resepsi mewah pasangan artis itu.
Dalam prosesi pernikahan khas Jawa tersebut, terpapar dua fakta menarik: pernikahan sesama artis dan pamer kemewahan. Fenomena ini sebenarnya tidak asing dalam panggung sejarah Jawa. Tempo doeloe, tatanan suatu pernikahan menjadi kesepakatan sosial di dalam masyarakat Jawa. Terdapat aturan tidak tertulis atau mengarah ke mitos bahwa golongan bangsawan dilarang menikah dengan kaum saudagar. Kelas sosial mengatur pasangan hidup seseorang sedemikian rupa.
Hasil riset tesis saya tentang sejarah kehidupan priayi-seniman Kota Solo menunjukkan bahwa hubungan pertalian darah antara anggota seniman terbentuk dari hasil perkawinan antara sesama keluarga priayi-seniman. Selain menjaga status sosial agar tidak melorot, pernikahan endogami sengaja dilakukan demi membatasi kemungkinan keluar dan berpindahnya anggota mereka ke komunitas lain. Di samping itu, orang luar sulit bergabung dengan kelompok para niyaga yang mengabdi pada Keraton Kasunanan ini.
Mudah ditebak, mereka yang bermukim di lingkungan tersebut secara genealogis masih sederek (saudara). Leluhurnya yang hidup pada permulaan abad XVIII sama-sama memiliki pertalian darah atau satu trah. Sebagai contoh, keluarga empu karawitan terkemuka Mlayawidada punya ikatan persaudaraan dengan keluarga maestro tari tradisional Jawa S. Ngaliman. Famili seniman Warsapangrawit ijik waris (masih bersaudara) dengan keluarga Turahyo, pengrawit andal Radio Republik Indonesia.
Dalam peradaban priayi, pernikahan dipandang bukan sekadar urusan membangun rumah tangga bagi yang dikawinkan, melainkan juga bertemunya dua buah keluarga. Sedapat mungkin pernikahan harus mendukung lapisan sosial yang telah terbangun. Sekeping fakta apik termuat dalam buku Biografi Sadinoe karangan mantan Kepala Taman Budaya Surakarta, Murtidjono (2004). Ditulis, "anak penewu harus berjodoh dengan anak penewu. Syukur kalau mendapat yang lebih bobot! Bukannya aku mau menolak atau sok merasa besar, tapi hanya mengikuti petuah nenek-moyang kita: bobot-bibit-bebet."
Hajatan perkawinan digelar penuh gebyar dan serba wah. Tuan rumah mengundang tamu sebanyak mungkin. Mereka dihibur tayuban semalam suntuk dan disuguhi minuman jenewer yang memabukkan. Acara tersebut jadi ajang pamer sekaligus tolok ukur seberapa terkenal dan terhormat empunya rumah. Tidak masalah meski boros dan modalnya dari hasil utangan kantor kerajaan, nanti tinggal potong gaji setiap bulan. Bagi mereka, menjaga kehormatan priayi dan gengsi sosial merupakan hal pokok.
Demikianlah gambaran mental priayi yang tak jauh berbeda dengan artis, kendati waktu telah bergulir seabad silam. Celakanya, mental atau gaya hidup priayi yang boros dan suka pamer kemewahan ditiru oleh masyarakat umum, juga dalam rangka mencari wah. Sehabis mengadakan hajatan, tidak sedikit dari mereka malah jatuh miskin, menanggung utang, kehilangan pekarangan, dan mengeluh sewaktu bergantian menyumbang. Kenyataan ini diringkas dalam idiom Jawa: gegedhen empyak kurang jagak. ●
0 komentar:
Posting Komentar