Artis dan Priayi
Heri Priyatmoko ;  Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
KORAN TEMPO, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Kemarin, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina menikah. Ritual pernikahan mereka ditayangkan oleh stasiun televisi Trans TV selama belasan jam. Media yang menyiarkan dinilai telah menyalahgunakan kuasanya dalam mengelola frekuensi publik. Banyak pula orang yang sinis terhadap acara resepsi mewah pasangan artis itu.

Dalam prosesi pernikahan khas Jawa tersebut, terpapar dua fakta menarik: pernikahan sesama artis dan pamer kemewahan. Fenomena ini sebenarnya tidak asing dalam panggung sejarah Jawa. Tempo doeloe, tatanan suatu pernikahan menjadi kesepakatan sosial di dalam masyarakat Jawa. Terdapat aturan tidak tertulis atau mengarah ke mitos bahwa golongan bangsawan dilarang menikah dengan kaum saudagar. Kelas sosial mengatur pasangan hidup seseorang sedemikian rupa.

Hasil riset tesis saya tentang sejarah kehidupan priayi-seniman Kota Solo menunjukkan bahwa hubungan pertalian darah antara anggota seniman terbentuk dari hasil perkawinan antara sesama keluarga priayi-seniman. Selain menjaga status sosial agar tidak melorot, pernikahan endogami sengaja dilakukan demi membatasi kemungkinan keluar dan berpindahnya anggota mereka ke komunitas lain. Di samping itu, orang luar sulit bergabung dengan kelompok para niyaga yang mengabdi pada Keraton Kasunanan ini.

Mudah ditebak, mereka yang bermukim di lingkungan tersebut secara genealogis masih sederek (saudara). Leluhurnya yang hidup pada permulaan abad XVIII sama-sama memiliki pertalian darah atau satu trah. Sebagai contoh, keluarga empu karawitan terkemuka Mlayawidada punya ikatan persaudaraan dengan keluarga maestro tari tradisional Jawa S. Ngaliman. Famili seniman Warsapangrawit ijik waris (masih bersaudara) dengan keluarga Turahyo, pengrawit andal Radio Republik Indonesia.

Dalam peradaban priayi, pernikahan dipandang bukan sekadar urusan membangun rumah tangga bagi yang dikawinkan, melainkan juga bertemunya dua buah keluarga. Sedapat mungkin pernikahan harus mendukung lapisan sosial yang telah terbangun. Sekeping fakta apik termuat dalam buku Biografi Sadinoe karangan mantan Kepala Taman Budaya Surakarta, Murtidjono (2004). Ditulis, "anak penewu harus berjodoh dengan anak penewu. Syukur kalau mendapat yang lebih bobot! Bukannya aku mau menolak atau sok merasa besar, tapi hanya mengikuti petuah nenek-moyang kita: bobot-bibit-bebet."

Hajatan perkawinan digelar penuh gebyar dan serba wah. Tuan rumah mengundang tamu sebanyak mungkin. Mereka dihibur tayuban semalam suntuk dan disuguhi minuman jenewer yang memabukkan. Acara tersebut jadi ajang pamer sekaligus tolok ukur seberapa terkenal dan terhormat empunya rumah. Tidak masalah meski boros dan modalnya dari hasil utangan kantor kerajaan, nanti tinggal potong gaji setiap bulan. Bagi mereka, menjaga kehormatan priayi dan gengsi sosial merupakan hal pokok.

Demikianlah gambaran mental priayi yang tak jauh berbeda dengan artis, kendati waktu telah bergulir seabad silam. Celakanya, mental atau gaya hidup priayi yang boros dan suka pamer kemewahan ditiru oleh masyarakat umum, juga dalam rangka mencari wah. Sehabis mengadakan hajatan, tidak sedikit dari mereka malah jatuh miskin, menanggung utang, kehilangan pekarangan, dan mengeluh sewaktu bergantian menyumbang. Kenyataan ini diringkas dalam idiom Jawa: gegedhen empyak kurang jagak. ●

Merekayasa Bonus Demografi

Tugas Presiden Baru Merekayasa Bonus Demografi
Ahan Syahrul Arifin  ;  Mantan Ketua PB HMI; Mahasiswa Pascasarjana UI
SINAR HARAPAN, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                   
Sejak 2012, Indonesia telah memasuki masa bonus demografi. Titik masa yang membuat rasio ketergantungan penduduk usia tidak produktif berada di bawah angka 50. Artinya, 100 orang produktif cuma menanggung 50 orang usia tidak produktif, atau dua orang bekerja hanya menanggung satu orang tidak bekerja. Kondisi ini akan memberikan kesempatan besar (the window of opportunity) bagi setiap bangsa yang mengalami.

Indonesia diperkirakan mendapatkan masa bonus demografi pada rentang 2012-2035. Puncak kesempatan berada di kisaran 2028-2031, yakni saat rasio ketergantungan pada kisaran 47 per 100 orang.

Bonus demografi, yang berhasil dijadikan jendela peluang, akan jadi daya ungkit bagi kemajuan bangsa. Namun, begitu salah urus, bonus demografi akan jadi ancaman yang fatal di masa depan.

Keberhasilannya memantik kinerja pembangunan yang melonjak tajam. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB/per kapita merupakan parameter yang menunjukkan keberhasilan tersebut. Potensi ini sebagaimana disebutkan Prof (emeritus) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam buku Menerawang Indonesia.

Merawat Spirit Menulis

Menumbuhkan Iklim Menulis


Sudah seminggu sejak digelarnya seminar fenomenal Darwis Tere Liye. Meski Tere tidak mau disebut sebagai motivator, nyatanya dia telah mampu membuat para peserta terkagum-kagum dan termotivasi. Bukan karena tampil cool dengan jumper coklat dan style kepala pelontos, atau memang 90 persen pesertanya kaum hawa?

Di auditorium berkapasitas 350 kepala itu, Darwis sukses menyedot perhatian dengan pembawaan, tips, pengalaman dan reason menulis nya yang masuk akal. tangan ini terasa gatal ingin segera digerakkan. di kesempatan itu seperti semua energi untuk menulis ada. 

persoalan mulai muncul setelah pukul 12.00, acara usai. pelan-pelan efek obat dari penetrasi Darwis memudar. kekhawatiran ini sebenarnya sudah muncul saat usulan seminar itu digulirkan. "Apa benar dengan mengundang tokoh penulis nasional motivasi kita mendadak naik 99,99% ??!!" sebagian optimis, sebagian lagi psimis.

Ya, saya termasuk peserta yang masih menyimpan sisa-sisa spirit Darwis, dan akan bertahan agak lama. meski saya akui agak menurun dengan alasan-alasan yang klise. seperti sibuk, waktu terbatas, dan males.

Merawat Spirit
Sebagai lembaga yang mengklaim diri sebagai gudangnya para penulis ini, pelan-pelan atau malah cepat-cepat harus sadar untuk memperbaiki iklim dan lingkungan serta tradisi ajar menulisnya. Jika masih asyik dengan kegiatan tapi lupa dengan kewajiban [baca:menulis], Al-Mizan akan tetap jalan di tempat.

banyak jalan untuk bisa menumbuhkan tradisi menulis. ada yang menggunakan cara-cara anarkis, bisa juga dengan cara-cara yang visual. cara mempengaruhi secara visual ini bisa ditempuh dengan mendekorasi kantor sedemikian rupa agar kita secara tidak sadar nyaman untuk menulis.

kerangka...
Ramaikan Dinding dg kreatifitas
jangan biarkan dinding kosong mlompong!!!!
1. Poster motivasi
2. Gambar/foto
3. Foto Pengurus
4. karya anggota
5. informasi penting
6. 




urung rampung....

Literasi dan Politisi

Literasi dan Politisi
Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
KOMPAS,  13 Oktober 2014

                                                                   
                                                   

SALAH satu yang bikin kita takjub terhadap manusia pergerakan adalah mereka hadir ke gelanggang politik tidak dengan kepala hampa, tetapi justru dengan ilmu pengetahuan yang menjulang. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Soekarno, Sjahrir, M Yamin, Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Natsir, dan lainnya adalah sosok yang mencerminkan ”bangsawan pikir”. Akrab dengan literasi, aktif berdiskusi, dan terus melakukan kontak dengan massa. Dari penjara Sukamiskin, Bandung Timur, atas tuduhan pelanggaran UU Hukum Pidana pasal haatzaai artikelen, Soekarno menulis   Indonesia Menggugat, semula sebagai pleidoi di Gedung Landraad pemerintah kolonial Belanda di Bandung, 18 Agustus 1930.

Buku yang jadi dokumen sejarah politik Indonesia itu ditulis mendalam dengan banyak jejak literasi yang telah diendapkannya sebagai pertanda Soekarno muda rakus membaca sambil dihubungkan dengan dinamika peristiwa politik yang dialami bangsanya. Buku yang memiliki pengaruh besar bukan hanya terhadap takdir keindonesiaan, melainkan juga bangsa-bangsa lain yang masih dalam sekapan kaum kolonial meski pada akhirnya dia tetap dijatuhi hukuman.

Tan Malaka sebagai sosok yang produktif dan orang pertama yang menulis kata ”Indonesia merdeka” dalam Naar de Republiek Indonesia pada 1925 di negeri pembuangan—ketika dipenjara oleh Soekarno karena bersimpangan jalan secara ideologis—dengan intim dan penuh daya gugah menuliskan seluruh pengalaman hidupnya dan seluruh amal politik anti kolonialismenya yang total dalam tiga jilid buku berharga Dari Penjara ke Penjara dengan sebuah keyakinan yang tak bisa ditawar seperti dituliskan di bukunya.

”Buku ini saya namakan Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri. Siapa ingin merdeka, ia harus siap dipenjara”. Dia juga menulis Gerpolek, Madilog, Massa Aksi, dan Menuju Republik.

Seorang bernama Hatta ketika berada di balik terali besi  di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928), hari-harinya larut disibukkan dengan membaca banyak buku sambil menyiapkan ujian sidang di Rotterdamse Handel Hooge School. Saat menjadi manusia eksil di Boven Digoel, akhir 1935, lagi-lagi yang dijadikan teman setianya buku dalam jumlah tak terhitung. Puluhan dus diboyong dari rumahnya ke Digoel. Di Digoel semua buku itu dibaca cermat, dianalisis dengan dingin, dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk tulisan yang dikirim ke berbagai media. Sebagai aktivis politik, ia masih sempat menulis Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi, Alam Pikiran Yunani (1943), dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964). 

Pewarisan tindakan

Mereka tidak hanya mewariskan tindakan politik yang penuh keteladanan: tentang kata yang selaras dengan perbuatan, etika yang dijadikan daulat utama, kejujuran yang dipegang teguh, kesetiaan dalam perkawanan, atau kesederhanaan dan asketisme yang dijadikan jalan kehidupan, tetapi juga dengan memukau mereka mewariskan banyak kitab yang bisa dibaca sampai hari ini. Maka tak heran ketika Indonesia diproklamasikan, mereka menjadi elite baru. Gedung konstituante dalam sekejap berubah menjadi arena perdebatan mencerahkan, menjadi panggung ilmiah adu ketangguhan mempertahankan pendapat dengan alasan yang akurat. Kuat dengan ilmu, menukik dalam telaah, dan jauh ke depan ketika memandang persoalan yang menyangkut hajat masa depan bangsa dan negara. Karena itu, produk UU yang dihasilkan pun sangat teruji, visioner, dan bermutu.

Wawasan yang luas tak hanya tecermin dari buku-buku yang telah ditulis, tetapi juga dari cara mereka merumuskan falsafah negara, menyelesaikan perdebatan, serta mencari jalan keluar yang disepakati semua secara lapang dan toleran. Semua sila dalam Pancasila, sebelum tampak seperti hari ini kita baca, lahir dari sebuah sengketa pemikiran yang panjang, argumentatif, dan ”panas”, termasuk pasal-pasal UUD 1945, Pembukaan, dan Piagam Jakarta. Karena saat itu kehormatan diletakkan di atas sikap keteguhan memegang prinsip kebenaran dan kejujuran, jarang kita temukan anggota konstituante dan atau anggota kabinet yang terjerat kasus korupsi, memburu proyek, bancakan anggaran, main perempuan, dan perbuatan naif lainnya.

Justru sebaliknya, kesederhanaan jadi bagian integral dari gaya hidup elite politik masa itu. Bagaimana setingkat Perdana Menteri Natsir, jasnya kelihatan sobek. Hatta sampai akhir hayatnya memendam cita-cita tak kesampaian memiliki sepatu Bally. Seorang diplomat ulung Agus Salim yang hidup tak ubahnya anak kos dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain sampai ajal menjemput.

Sjahrir yang sering kali pinjam uang. Tan Malaka yang tak sempat mencicipi buah manisnya kemerdekaan, tetapi hidup sebagai pelarian dari satu daerah ke daerah lain. Amir Sjarifudin, wakil PM Sjahrir, akhirnya harus terus berada dalam pelarian karena berbeda haluan dengan kekuasaan yang notabene kawan-kawannya sendiri.

Cermin hari ini
                                   
Setelah 69 tahun usia kemerdekaan, cerita itu tinggal kenangan, hanya ada dalam catatan sejarah yang sudah lusuh. Hari ini yang kita saksikan pemandangan berbanding terbalik. Gedung DPR di Senayan tak ubahnya showroom mobil-mobil mewah. Yang diparkir kebanyakan kendaraan dengan banderol miliaran  rupiah keluaran terakhir. Pelantikan anggota DPRD DKI jadi ajang kepongahan pamer kendaraan wah di tengah kebanyakan rakyat yang masih jelata.

Jangan bandingkan dengan kualitas persidangan manusia pergerakan. Yang terekam kini, perdebatan yang sebagian besar mencerminkan manusia yang tak karib dengan literasi. Bukan hanya bobot argumen yang dikedepankan dan produk legislasi yang dikeluarkan, dari cara berdiskusi mengajukan pertanyaan pun sangat mengecewakan. Militansi perjuangan itu hanya tampak digunakan untuk memperjuangkan UU yang dianggap sehaluan dengan kepentingan partai dan kaumnya. Kalau sudah menyangkut nasib partainya, apa pun dilakukan walaupun tak sepakat dengan rakyat yang telah memilihnya seperti dalam hiruk-pikuk UU Pilkada.

Lebih tragis lagi, tak sedikit manusia politik mutakhir setelah terpilih jadi anggota Dewan yang dilakukan tak lebih  cari obyekan di banyak kementerian. Menandai mata anggaran di APBN yang bisa ”dikerjasamakan” untuk kepentingan daerah pemilihannya. Selebihnya, duduk manis di kursi Senayan dengan mata terpejam. Sesekali studi banding ke luar negeri agar tampak kosmopolitan. ICW merilis, 48 caleg 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari jumlah itu, 26 orang akan menjabat anggota DPRD kabupaten/kota, 17 orang akan menjadi anggota DPRD provinsi, dan 5 orang akan dilantik sebagai anggota DPR (Kompas, 16/9). Zaman sudah berubah. Sayang perubahan itu bergeser ke arah atmosfer politik jahiliah. ●

Sumber: http://budisansblog.blogspot.com/2014/10/literasi-dan-politisi.html

Sinerji Ekonomi dan Lingkungan

Sinerji Ekonomi dan Lingkungan
Oleh: Khusnul Kowim

SATELITPOST-paguyuban pedagang pasar
tiban (Pasti) Bersatu bersama pemerintah
mengadakan rapat  membahas relokasi
pedagang pasar tiban di kantor
Kelurahan Buaran, Jum'at (3-1-14)
Beberapa orang beranggapan bahwa persoalan ekonomi dan lingkungan adalah hal berbeda yang tidak bisa berjalan bersama. Anggapan ini berimplikasi pada keberlangsungan aktivitas ekonomi yang mengacuhkan kewajiban terhadap lingkungan. Persoalan lingkungan seakan menjadi hal nomor ke sekian. Faktor ekonomi menempati posisi lebih penting dibanding lainnya. Mungkin anda termasuk di dalamnya.

Hampir satu bulan lamanya saya mengawal perjalanan pemerintah Kota Pekalongan menertibkan pedagang kaki lima. SKPD yang bersentuhan langsung dengan mereka adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop dan UMKM). Dari rapat ke rapat hingga ke tengah-tengah kerumunan pedagang pasar tiban.

Pemerintah memang tengah gencar memperhatikan tata kota khususnya keberadaan PK5. Prinsip yang dipegang oleh pemerintah adalah penataan, bukan pemberangusan. Pemerintah sadar, bahwa keberadaan PK5 secara ekonomi membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran dan kriminalitas. Wilayah yang banyak ditengarai dengan angka kriminalitas yang tinggi adalah daerah yang padat penduduk yang terkonsentrasi di ibu Kota.

Kondisi padatnya penduduk di suatu kota berbanding lurus dengan meningkatnya ekonomi warganya. Namun, karena pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang baik dan tertata, maka wajar jika masyarakat melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Berdagang kaki lima pun ditempuh.

Setelah CAFTA, tahun 2015 kita sudah memasuki pasar terbuka kawasan Asia (MEA). Tahun di mana masyarakat semakin diuji dengan berkompetisi secara ekonomi. Tentu pemerintah sadar posisi ini, tidak mungkin pemerintah akan memberangus pondasi ekonomi masyarakat menengah ke bawah itu. Jika itu dilakukan, sama halnya pemerintah melakukan ‘gol’ bunuh diri.

Tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah terus melakukan sosialisasi dan himbauan serta mengeluarkan program pemberdayaan kepada gerakan wirausaha melalui kementerian terkait. Masyarakat didorong untuk berkreasi dan berinovasi menciptakan usaha mandiri. Memontum ini tepat sekali menyambut masa pendaftaran CPNS Nasional.

Selanjutnya, pemerintah harusnya lebih cerdas. Dengan akan meningkatnya usaha-usaha kecil yang lebih masif, pemerintah harus membaca bahwa seiring dengan pesatnya ekonomi kecil, lingkungan dan tata kota akan menjadi ancaman dan tumbalnya. Pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif harus segera menyiapkan regulasi untuk mengatur PK5 (khususnya).

SATELITPOST-Ketua DPRD Kota Pekalongan,
menangapi pertanyaan dan keluhan yang disampaikan
oleh pedagang pasar tiban di Ruang Rapat Komisi A, Rabu (29-1-14).
Akhir tahun 2013, satu-satunya produk legislasi yang belum selesai adalah UU tentang PK5. RUU itu dibuat oleh eksekutif dan diajukan di legislatif, namun menjelang akhir tahun 2014 sepertinya RUU tersebut belum terdengar untuk diselesaikan. Jawaban yang sama saat saya tanyakan kepada eks ketua DPRD Kota Pekalonganm Bowo Leksono, “Belum (diketok) Mas...,” demikian jawaban pesan singkat yang saya terima saat menulis tulisan ini, September lalu.

Belajar dari masalah Batik
Belajar dari pengalaman, Pekalongan adalah Kota dengan pertumbuhan pengusaha batik yang sangat tinggi. Pertumbuhan pengusaha yang begitu tinggi membuat pencemaran terhadap sungai juga semakin tinggi. Peraturan untuk mengatur dan memaksa pengusaha agar membuat IPAL sudah dibuat. Kita bisa melihat seperti apa penerapannya. Masih terdapat 1.050 unit industri rumah tangga batik dan printing di Kota Pekalongan yang belum tercover IPAL komunal. Keterbatasan dana dan lokasi membuat para pengusaha gagal membangun. Akibatnya, sungai-sungai di Pekalongan tercemar oleh limbah batik, terutama yang berenis printing.

Untuk menjembatani keterbatasan itu, pemerintah tengah membangun IPAL mini. Selain untuk mengatasi keterbatasan lahan, IPAL mini tersebut juga untuk mengatasi kendala  mahalnya desain pembuatan IPAL. Untuk desain gambar saja, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 25 juta. Adapun biaya pembuatan IPAL komunal di Kauman, misalnya, investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 800 juta, dan biaya operasional sekitar Rp 75 juta per tahun.

Perda Nomor 3 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup sepertinya tidak beralan seperti yang diharapkan. Sanksi yang diberikan bagi perusahaan yang membuang limbah tanpa diolah terlebih dahulu mulai dari administrasi hingga penutupan usaha, tak membuat takut bahkan jera.

Belajar dari pengalaman industri batik, dalam menyambut tahun MEA, sudah saatnya pemerintah khususnya DPRD untuk segera menyelesaikan regulasi tentang PK5 yang diprediksi akan tumbuh lebih cepat. Jika tidak, pencemaran lingkungan dan tata kota menjadi ancaman yang serius.

Sinerji Ekonomi dan Lingkungan
Di dalam QS Ar-Rum: 41-42 Allah telah mengingatkan adanya konsekuensi dari perilaku manusia yang membuat kerusakan. Untuk membendung hasrat ekonomi manusia, beragam program dan regulasi telah diratifikasi dan dialankan oleh negara di dunia. Diantaranya adalah program Corporate Social Responsibility (CSR), Pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan Pengurangan Emisi Karbon Industri.

SATELITPOST-Pasar Tiban masih menjadi tumpuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
masyarakat Pekalongan, Minggu (29-12-13)
Di Kota Pekalongan sektor yang paling berkembang adalah sektor perdagangan dan perindustrian. Sektor perdagangan sebesar 27,29%, sektor industri pengolahan 20,37%,, sektor bangunan 13,35%, dan lain-lain. Penelitian* yang tengah saya lakukan juga menempatkan Kota Pekalongan sebagai salah satu dari dua kota di awa Tengah terpilih dengan industri yang berkembang baik setelah Semarang dari 50 kota besar Indonesia.

Melihat potensi sebesar ini, upaya pengendalian lingkungan harus dilakukan secara komprehensif dengan membuat master plan. Tidak hanya upaya prefentif dengan membuat regulasi saja, nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan harus dipupuk sedini mungkin. Baru-baru ini Pemerintah Kota baru saja melepaskan tanggung awab pengangkutan sampah yang awalnya dilakukan oleh DPKLH menadi wewenang warga melalui kelurahan. Ini adalah awal yang baik. Keterlibatan masyarakat perlu ditingkatkan dalam aktivitas ekonomi. Perilaku ekonomi yang awalnya semata-mata mereguk keuntungan, mulai sekarang harus memperhatikan dan berwawasan lingkungan. Meski perda atau perwal tentang PK5 belum lahir, alangkah lebih baik kesadaran itu muncul sesegera mungkin.

Tulisan ini akan saya tutup dengan Cree Indian Peribahasa, “Hanya ketika pohon terakhir telah mati dan sungai terakhir telah teracuni dan ikan terakhir telah tertangkap akan kita menyadari bahwa kita tidak bisa makan uang.”

*) Penulis tengah melakukan Survey Perusahaan ; Peran Jaringan Sosial Dalam Dunia Usaha 2014
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia


Ramadhan 10 Hari Pertama

Ramadhan 10 Hari Pertama

Foto Teks yg saya posting di facebook
Tak terasa kita sudah melewati 10 hari pertama dengan baik. Di usia yang sudah menghabiskan sepermpat abad ini, maka sangat tidak lucu jika puasa yang dikerjakan hanya sebatas memindahkan jam makan. atau puasanya anak SD saja.

Mencari Suara Mencari Pahala

kalimat tadi terkesan sombong untuk saya akui, tapi sebagai sebuah usaha dan cita-cita harus menjadi tujuan, niat, dicoba dan dilakukan. semampu kita. puasa tahun ini sangat saya rasakan begitu berbeda. dan harus berbeda. yang paling mencolok adalah di awal puasa bebarengan dengan pesta demokrasi yang benar-benar menyita perhatian dan emosi.

Sebagai salah satu warga negara yang baik, tentu kita harus mengambil sikap bukan? nah sikap ini yang kemudian harus dipikir masak-masak. Mendukung tanpa berlebih-lebihan akhirnya jalan yg saya tempuh. beberapa teman sudah tahu siapa yg saya dukung. meski di detik-detik terakhir sempat mengalami keguncangan pilihan. lantaran dihadapkan pada mimpi misterius yang berujung pada kenyataan.

bayangkan sekeluarga sepakat berbeda meski mereka menghormati pilihan saya. saya dan adek yang saya jemput dari pondok juga berbeda. hingga berangkat ke TPS bareng pun saya tidak lalu intervensi apa yg menjadi pilihan saya. pikiran nakal saya, kalo sy intervensi, pasati akan dia akan mengeluarkan ayat-ayat suci yang sy pasti manthuk-manthuk saja. hormat saya sama calon hafidhoh yg entah sekarang sudah berapa juz...
hahaha indah rasanya... berbeda itu asyik. 

Diniati Ibadah
selama 9 hari mencari suara sekaligus pahala itu jujur saya tidak banyak terlibat pada hiruk pikuk pilpres. Banyak teman-teman yg kemudian saya salut, berbagi informasi seputar informasi yg sekiranya menguatkan elektabilitas capres yg didukung. tak jarang saya juga mendapati mereka membagi informasi yang menjatuhkan capres lain. ada juga yang nyindir, memfitnah dan sampai caci maki. Di grup WA dan BB pun tak luput dari obrolan itu. karena lebih dekat dan terbatas anggota lebih menjaga etika tak sedikit yang mengurai senyum dan tawa di akhir postingan. hahahaha... nah itu contohnya. :D

Meski kadang terpancing larut urun kata dan kalimat. saya amat hemat dan begitu hati-hati, tapi kali ini saya lebih banyak menyimak, mengamati, mendengarkan dan menonton saja. sikap ini memang cenderung lebih kepada sikap "cari aman". dengan begitu saya tetap membaca fenomena politik negeri. Semoga semua aktivitas itu mereka niati sebagai suatu ibadah. kalau salah kan khilaf. asyik.

Limpahan Rahmat Curahan Kasih Sayang
Sebagai salah satu upaya besar memenangkan predikat Insan Yang Bertaqwa (QS. Al-Baqarah 183), saya berupaya untuk malakukan ritual apapun untuk mencapai itu. meski sebatas ritual seperti satu paket sholat malam ganjil (taraweh, witir, tahajud, dll) serta sholat sunah siang genap (dhuha dan rawatib). Dengan jumlah rokaat dan waktu yg tidak konsisten.

Ramadhan adalah momen emas untuk membuat perubahan emas. Jika di hari-hari biasa kita sulit melakukannya inilah saatnya melanggengkan semua amalan itu. 10 hari pertama adalah waktu dimana Allah menebar rahmat bagi semesta. sebenarnya Allah selalu membagi sifat rahman dan rahimnya kepada makhluknya setiap hari setiap detik dan setiap lini masa. kita saja yang lupa tak menjemputnya. Nah, di awal romadhon ini kuantitas rahmatnya lebih wah.. dari biasanya. sayang kalo kita diam saja, tak menjemputnya.

dari sisi kontekstual saya rasakan awal bulan puasa ini saya mendapat limpahan 'kasih sayang' yang luar biasa dari orang-orang tercinta dan dari orang-orang terdekat. semuanya terasa dekat meski semuanya jauh. dan kedekatan yang palin penting adalah kedekatan kita kepada Allah SWT, Sang penebar Rahmat dan Kasih Sayang.

Dan yang menurutku cukup spesial adalah limpahan perhatian dan kasih sayang tak terduga dari kekasih hati. Rasa yang begitu besar itu mendadak tertambat pada dia yang begitu istimewa di mata dan hati. perhatiannya begitu berpengaruh signifikan dalam setiap nafas. lebay memang. tapi begitulah... tentu porsi CINTA lebih besar kepada-Nya.

Hobi Jepret
Gedung Pemuda, goa persembunyian saya
Dua bulan lalu saya pernah kos di sekitar lapangan mataram. karena jatah pas kebetulan habis untuk lebih fokus akhirnya saya merapat ke kajen. tempat yang representatif untuk melakukan segala hal. membaca, menulis, mencari informasi dan tentu saja beribadah. Di tempat ini sangat dekat dengan du masjid besar. pertama masjid Jami' Al Muhtaram di kompleks pemerintahan dan masjid Al Khuzaimah di kompleks gedung Dakwah Muhammadiyah.

Secara kuantitas, saya lebih sering ke Masjid alun-alun itu. karena saat itu saya masih pegang kamera Canon EOS 700D saya tak kufur nikmat dengan mendiamkan. tarawih pertama saya nenteng kamera besar itu ke mesjid Al Muhtaram. di tarawih terakhir saya memilih untuk jeprat jepret saja. saya motret jamaah yg tengah sholat witir.

Alhamdulillah saya mendapatkan angel yang cukup bagus. ada objek menarik, terdapat sosok anak kecil yang menghadap kamera alias bertolak belakang dengan seluruh jamaah. ini momen bagus yang tak saya sia-siakan terlewat begitu saja. jepret.. jepret.. dan tara...

Jamaah masjid Jami' Al-Muhtaram tengah melakukan Sholat Witir, 1 Ramadhan 1435 H

sisanya saya mencoba jalan ke alun-alun yang masih dipenuhi dengan lapak pedagang pasar malem yang cenderung sepi. wah, disini sayah malah panen. banyak obyek menarik, namun tak puas lantaran sepi. tapi hasilnya tetap memuaskan.

Berikut saya sajikan sebagian hasil jepretan saya malam itu. foto ini sudah mengalami editing dan diberi properti Kaligrafi agar bisa disajikan dengan nikmat. silakan dinikmati.

Masjid Jami' Al-Muhtaram

Pemilik salah satu permainan tengah menunggu pelanggan


Seorang bapak tengah membaca Kita Suci Al-Qur'an di teras masjid Al-Khuzaimah

Jamah masjid Al Muhtaram sedang tadarus selepas taraweh





DADI KAJEN & PETERPAN

Sebuah Nama, Sebuah Cerita

Pada tahun 2008 Peterpan merilis album kelima berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita, karya terakhir yang  (The Best of) sebagai ancang-ancang untuk ganti nama. Single pertama dari album ini adalah Walau Habis Terang. Lagu pembuka yang cukup menyita perhatian publik, termasuk sayah.


video klip yang digarap juga mampu menggambarkan bahwa memang grup ini akan berpisah dengan nama besarnya, Peterpan. Nama yang yang melegenda di jagad musik pop Indonesia. akhir video itu ditutup dengan personil grup yang saling berangkulan sesaat setelah mobil yang ditumpangi Ariel meledak. Duaaarrrrr.......

Dari visualisasi itu jelas tergambar, Grup band itu hendak meninggalkan kenangan atau 'kendaraan' yang mereka tumpangi selama ini. dari awal video yang berdurasi 3:38 menit itu lebih banyak menampilkan Ariel yang diikat dalam mobil. Dengan lirik yang sedih namun tetap mengajak untuk tersenyum dan optimis. Keikhlasan mereka menghapus nama Peterpan juga semakin tegas dengan adegan meledaknya mobil berikut efek suara meledaknya. Jika anda belum menemukan visualisasi itu, cover album itu sudah cukup mewakili!

DADI KAJEN; Tentang Sebuah Nama


Suasana dialog di Pendopo Kajen
Tadi malam, tiba-tiba saya ditelpon teman saya, Ahond untuk meminta sayah menghadiri acara Dialog perubahan nama Dadi Kajen di Pendopo. "Teko wae, dialoge asyik. ono mangan-mangane". sebenarnya kata terakhir bagi anak kos seperti saya itu motivasi terbesar. hahahaha.... tapi karena mahgrib itu sayah juga mendapat shodaqoh nasi megono bungkus dari Mas Imam Huda di Gedung Pemuda, jadi saya tidak begitu bernafsu. 

Hal menarik yang masih mendorong sayah untuk hadir adalah DIALOGnya. apalagi tema obrolan itu Tentang Sebuah Nama, yang akan diganti. tentu ini akan menarik. katanya lagi, "ribuan orang akan hadir". wah seru pikirku. tawaran temen saya itu saya iyakan, berharap di sela-sela dialog yang bosan saya bisa ke alun-alun untuk motret-motret happy.

Sebenarnya sayah juga berat meninggalkan rutinitas beberapa hari ini tiap malam. mendengarkan cerita-cerita asyik dari adekku, yang mengagumkan itu. :) demi sebuah ilmu baru dan silaturahmi sayah niatkan beranjak. singkat cerita, setelah menembus hujan sambil menenteng senjata Canon EOS 700D sampailah di Pendopo Kabupaten Pekalongan. H 4483 ZD tahun 2005 sayah parkir di antara mobil-mobil plat merah dan mobil elit lainnya. ada puluhan mobil berjajar disitu.

Tak disangka moderator yang memimpin dialog yang disetting mirip forum ILC itu dibawakan oleh senior sayah, Aminuddin Azis. Pendiri PATTIRO Pekalongan yang jarang di rumah, sibuk dengan bisnis kaos dan pendampingannya ke beberapa provinsi di Indonesia. pukul 20.45 diskusi bergaya ILK itu dimulai mas Amin, dengan kepala pelontosnya. Di sana sayah juga ketemu beberapa teman wartawan yang pernah ngliput bareng, banjir bareng dan beberapa alumni HMI seperti Bang Akbar Yulian, eks Kabid Pemuda Dinporapar yang sekarang di Dishub. tidak sia-sia. alhamdulillah.

William Shakespeare
Dalam dialog itu sudah saya duga, pasti banyak yang mengutip pernyataan William suka pare itu, "Apalah Arti Sebuah Nama". Quote itu biasanya untuk membenarkan argumen bagi siapa yang tidak begitu mempermasalahkan sebuah nama. Sebenarnya dia tidak hanya mengatakan itu saja, masih ada buntutnya. Dia mengatakan   “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet. (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi)

Dalam konteks wacana perubahan nama kabupaten Pekalongan menjadi Dadi Kajen, banyak pembicara yang tidak begitu menyoal. yang lebih utama adalah kesejahteraan warga. Pertimbangan yang muncul atas wacana perubahan nama kabupaten adalah banyak pengalaman pahit terkait kesamaan nama dengan Kota Pekalongan. Pasalnya beberapa pejabat pernah mengajukan proposal ke pusat ataupun ke lembaga lain, namun ketika lolos malah dana itu nyasar ke Kota Pekalongan. Sehingga agar tidak terulang nama ini perlu diganti.

Kaji Failasuf berkata lain, bos batik pesisir itu mengungkapkan bahwa sebenarnya yang lebih berhak dengan nama besar Pekalongan adalah Kabupaten bukan Kota. Pendapat ini didasarkapan pada sejarah, Pekalongan ya Kabupaten sebenarnya. hanya saja Kota Pekalongan beberap tahun ini lebih banyak membangun imej positif yang meningkatkan nama Pekalongan unggul. sebut saja, branding The World City of Batik, Museum batik, dan lain sebagainya.

Namun berbicara kemiripan nama, Failasuf melanjutkan, bahwa kita sebenarnya juga bisa diuntungkan. "Siapa tahu kalau Kota mengajukan bantuan, bisa nyasar ke kabupaten," disambut tawa hadirin. 

Kabupaten Pekalongan, lanjut Failasuf, bisa fokus kepada pengembangan daerah. dia membandingkan dengan penataan kota besar dunia yang maju yang memisah antara pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Kabupaten memiliki wilayah pantura yang bisa dijadikan pusat bisnis dan wilayah kabupaten yang bisa diarahkan ke pusat pemerintahan.

"Lihat Jakarta sekarang, pusat pemerintahan dan bisnis jadi satu, wacana untuk perpindahan selalu mentah," kata Failasuf, yang style rambutnya mirip moderatornya.

Dialog yang terasa kurang dan belum selesai itu terpaksa ditutup dengan sambutan dari Bupati Antono didampingi wakilnya Fadia. Antono mengatakan, perubahan nama Dadi kajen mengandung spirit berani berubah. Nama kajen juga mempunyai arti baik yaitu terhormat.

Pantas saja jika Peterpan merubah namanya, selain nama besar, perjalanan Paterpan sebagai sebuah band juga menyimpan banyak luka dan masalah. mulai dari pemecatan 2 personilnya, maupun kasus video heboh yang menyeret nama vokalisnya. Hallo... NOAH. Semoga membawa perubahan baik. Sedang Pekalongan, dalam sejarah mempunyai kisah dan tokoh-tokoh besar. Tidak ada alasan untuk meninggalkan nama besar Pekalongan, selain hari ini Kabupaten harus kembali mengembalikan nama besar itu. Kota tahun lalu sudah memulai dengan slogan ulang tahun, "Mengembalikan Kejayaan Kota Pekalongan", aayo, kabupaten menyusul... sayah tunggu... :D

Dalang Bagong tengah memainkan
wayang kulitnya
Di akhir dialog sayah coba sms mas Amin, "waktu diskusinya kurang ya mas? he.." yang terlihat di luar pendopo sambil menyalakan sebatang rokok. "tidak leluasa mas..." jawab dia kemudian. sayah coba balas lagi, untuk mencairkan suasana, maklum setahun tidak ketemu, "Nonton wayang aja Bang, lebih leluasa...". Kebetulan di depan pendopo telah tersaji pagelaran wayang kulit. setelah saya duduk manis di kursi penonton wayang dia balas, "Waduh... cari tkg pijit mas...". hahaha ternyata dia capek.

tak betah duduk menyimak dialog yang tak paham, sayah mengeluarkan senjata yang dari tadi tidur di dalam tas. sayah tengok kiri kanan, eh ada polisi. ah biarin. biar nanti tembak-tembakan. gak pa-pa. kan besar punyaku. he...

jadilah tontotonan wayang habis untuk motrat-motret wayang kulit. he... nich hasil jepretan sayah... semoga berkenan... (bersambung brow...)