Politik dan Cinta Buta
Dewasa ini orang-orang terdekat kita bahkan mungkin semua orang tengah gandrung dengan dunia politik. Mereka rame-rame merapat ke masing-masing kubu untuk mendukung niat baik para kandidat untuk memperbaiki negeri ini dengan mencalonkan diri menjadi capres dan cawapres. Termasuk saya. :D
Fenomena dukung-mendukung ini kemudian menjadi bergeser lantaran kandidat yang didukung mendapat hadiah informasi negatif bahkan hitam. Karena berpotensi menurunkan elektabilitas sang kandidat akhirnya tidak mau itu terjadi si pendukung kembali balik menyerang. Terjadilah rebut-ribut perang informasi antar kedua kubu.
Hal inilah yang dalam dunia demokrasi menjadi tidak sehat. Para pendukung capres ini seakan berevolusi menjadi seperti fans selebriti, supporter sepakbola yang fanatic dan anarkis. Baik anarkis secara fikir maupun fisik. Fenomena ini bisa dilihat mulai dari sekedar sindir menyindir, joke gambar-gambar yang diplesetkan hingga makian. Bahkan di beberapa kampanye sudah menjurus ke anarkis. Saya tidak akan menyebut dari kubu mana yang sudah sampai anarkis, nanti dikira kampanye. Repot!
Selepas subuh tadi saya tertarik melihat Pak Andi Eswoyo yang merespon fenomena fanatic buta dengan begitu cerdas. Beliau memposisikan sebagai lawan dari orang fanatic buta. Posisinya sebagai akademisi adalah sangat tepat dan memang harus begitu bukan. Di status beliau saya iseng balas dengan dukungan, sedikit urun rembug bahwa posisi akademisi tak ubahnya seperti posisi ulama. Ulama yang harusnya bersifat netral dan mengayomi semua umat dan masyarakat.
Saya juga mengamini apa yang dikatakan Prof Qomarudiin Hidayat dalam jada twitternya, “Jendral itu mirip Ulama. Jangan terlibat kontestasi politik praktis. Anak buah bingung.” Akademisi juga mestinya begitu, tidak terlibat dalam hiruk piku politik praktis. Dia lebih berkepentingan kepada bagaimana membuat masyarakat agar tetap tercerahkan di tengah informasi tak jelas sumber dan kebenarannya.
CINTA BUTA
Jika virus fanatic sudah menjangkiti maka secepat itu akan menjalar. Analogi ini mirip dengan orang yang jatuh CINTA. Biasanya orang yang tengah dilanda asmara nalarnya akan buntu. Jika diberi nasehat cenderung tidak memperhatikan bahkan diabaikan. Hatinya sudah beku. Ada yang akhirnya pasrah dengan berujar, “percuma menasehati orang jatuh cinta”.
Ayo, yang pernah mengalami suasana batin itu, coba berkedip… ;)
Ya, semua mengalami, hanya kualitas dan kuantitasnya yang berbeda. Akhirnya banyak juga yang mengalami penyesalan, lantaran semula acuh dengan nasehat-nasehat bijak dari orang-orang terdekat. Ketika orang mulai fanatic, maka hati sudah tertutup. Jika sudah begitu nalar dan piker sudah tidak sehat. Semua perbuatan sudah tidak dibangun atas dasar kebenaran hati, melainkan nafsu.
Dengan fanatic kita tidak bakal tahu apa motif sebenarnya atau ada kepentingan lain dibalik niat baiknya itu. Untuk pendapat ini, @komar-hidayat kembali menulis “Kekuasaan bisa jadi instrumen utk memperbaiki bangsa. Bisa juga utk melindungi kepentingan pribadinya.” Nah jika sudah terlanjur fanatic maka kita sulit untuk memilah mana yang benar, cenderung benar atau salah dan seterusnya.
Sampai hari ini saya sempat dikecewakan dengan sikap seorang tokoh idola yang akhirnya membela salah satu kubu. Awalnya saya menerima argumentasi beliau niat baiknya untuk berpihak. Saya juga telah menerima argumentasi serupa dan beberapa pertimbangan yang masuk nalar “politik”.
Namun beberapa pernyataan beliau di media kemudian, mulai jauh dari apa yang saya kenal dulu. Banyak komentar yang tidak lagi cerdas, sama seperti politisi-politisi kebanyakan. Saat itu runtuh kepercayaan saya dengan beliau.
Semoga masih menjumpai kebenaran pada diri beliau pada akhirnya, doa saya.
DILEMA
Fanatic buta, akhirnya semakin membuat pesta demokrasi semakin buram saja dan dunia politik pada umumnya. Di posisi ini masyarakat akan mengalami dilema. Mendukung dengan resiko terbawa arus fanatic buta atau netral dengan resiko akan dicap sebagai kaum apatis. Atau yang paling frontal ketika kecewa dengan dua kubu atau yang masih dan tambah benci dengan politik adalah GOLPUT!
“Perlu kesadaran & tekad utk membangun kepercayaan publik bhw politik itu mulia, terhormat & tempat berkumpulnya org2 baik dan bersih.” Tulis lagi @komar_hidayat kemarin, yang baru sempat sy RT pagi ini.
Akhirnya di tahun ini kita tetap harus belajar. Setidaknya belajar berpolitik dari sisi yang lain. KPU sudah memutuskan ada dua kandidat, dua pasang dan satu yang akan melenggang ke istana. Mari gunakan hak pilih kita.
“Terdpt pembelajaran politik dan komparasi bagaimana mendukung capres dg cerdas dan elegan atau sebaliknya.” @komar_hidayat.
Atau, jangan-jangan sejak jaman pitekantropus sampai jaman politikus, politik memang seperti ini ? :D semoga tidak!
@KOWIMisme
Dewasa ini orang-orang terdekat kita bahkan mungkin semua orang tengah gandrung dengan dunia politik. Mereka rame-rame merapat ke masing-masing kubu untuk mendukung niat baik para kandidat untuk memperbaiki negeri ini dengan mencalonkan diri menjadi capres dan cawapres. Termasuk saya. :D
Fenomena dukung-mendukung ini kemudian menjadi bergeser lantaran kandidat yang didukung mendapat hadiah informasi negatif bahkan hitam. Karena berpotensi menurunkan elektabilitas sang kandidat akhirnya tidak mau itu terjadi si pendukung kembali balik menyerang. Terjadilah rebut-ribut perang informasi antar kedua kubu.
Hal inilah yang dalam dunia demokrasi menjadi tidak sehat. Para pendukung capres ini seakan berevolusi menjadi seperti fans selebriti, supporter sepakbola yang fanatic dan anarkis. Baik anarkis secara fikir maupun fisik. Fenomena ini bisa dilihat mulai dari sekedar sindir menyindir, joke gambar-gambar yang diplesetkan hingga makian. Bahkan di beberapa kampanye sudah menjurus ke anarkis. Saya tidak akan menyebut dari kubu mana yang sudah sampai anarkis, nanti dikira kampanye. Repot!
“Perlu kesadaran & tekad utk membangun kepercayaan publik bhw politik itu mulia, terhormat & tempat berkumpulnya org2 baik dan bersih.”@komar_hidayat
Selepas subuh tadi saya tertarik melihat Pak Andi Eswoyo yang merespon fenomena fanatic buta dengan begitu cerdas. Beliau memposisikan sebagai lawan dari orang fanatic buta. Posisinya sebagai akademisi adalah sangat tepat dan memang harus begitu bukan. Di status beliau saya iseng balas dengan dukungan, sedikit urun rembug bahwa posisi akademisi tak ubahnya seperti posisi ulama. Ulama yang harusnya bersifat netral dan mengayomi semua umat dan masyarakat.
Saya juga mengamini apa yang dikatakan Prof Qomarudiin Hidayat dalam jada twitternya, “Jendral itu mirip Ulama. Jangan terlibat kontestasi politik praktis. Anak buah bingung.” Akademisi juga mestinya begitu, tidak terlibat dalam hiruk piku politik praktis. Dia lebih berkepentingan kepada bagaimana membuat masyarakat agar tetap tercerahkan di tengah informasi tak jelas sumber dan kebenarannya.
CINTA BUTA
Jika virus fanatic sudah menjangkiti maka secepat itu akan menjalar. Analogi ini mirip dengan orang yang jatuh CINTA. Biasanya orang yang tengah dilanda asmara nalarnya akan buntu. Jika diberi nasehat cenderung tidak memperhatikan bahkan diabaikan. Hatinya sudah beku. Ada yang akhirnya pasrah dengan berujar, “percuma menasehati orang jatuh cinta”.
Ayo, yang pernah mengalami suasana batin itu, coba berkedip… ;)
Ya, semua mengalami, hanya kualitas dan kuantitasnya yang berbeda. Akhirnya banyak juga yang mengalami penyesalan, lantaran semula acuh dengan nasehat-nasehat bijak dari orang-orang terdekat. Ketika orang mulai fanatic, maka hati sudah tertutup. Jika sudah begitu nalar dan piker sudah tidak sehat. Semua perbuatan sudah tidak dibangun atas dasar kebenaran hati, melainkan nafsu.
Dengan fanatic kita tidak bakal tahu apa motif sebenarnya atau ada kepentingan lain dibalik niat baiknya itu. Untuk pendapat ini, @komar-hidayat kembali menulis “Kekuasaan bisa jadi instrumen utk memperbaiki bangsa. Bisa juga utk melindungi kepentingan pribadinya.” Nah jika sudah terlanjur fanatic maka kita sulit untuk memilah mana yang benar, cenderung benar atau salah dan seterusnya.
Sampai hari ini saya sempat dikecewakan dengan sikap seorang tokoh idola yang akhirnya membela salah satu kubu. Awalnya saya menerima argumentasi beliau niat baiknya untuk berpihak. Saya juga telah menerima argumentasi serupa dan beberapa pertimbangan yang masuk nalar “politik”.
Namun beberapa pernyataan beliau di media kemudian, mulai jauh dari apa yang saya kenal dulu. Banyak komentar yang tidak lagi cerdas, sama seperti politisi-politisi kebanyakan. Saat itu runtuh kepercayaan saya dengan beliau.
Semoga masih menjumpai kebenaran pada diri beliau pada akhirnya, doa saya.
DILEMA
Fanatic buta, akhirnya semakin membuat pesta demokrasi semakin buram saja dan dunia politik pada umumnya. Di posisi ini masyarakat akan mengalami dilema. Mendukung dengan resiko terbawa arus fanatic buta atau netral dengan resiko akan dicap sebagai kaum apatis. Atau yang paling frontal ketika kecewa dengan dua kubu atau yang masih dan tambah benci dengan politik adalah GOLPUT!
“Perlu kesadaran & tekad utk membangun kepercayaan publik bhw politik itu mulia, terhormat & tempat berkumpulnya org2 baik dan bersih.” Tulis lagi @komar_hidayat kemarin, yang baru sempat sy RT pagi ini.
Akhirnya di tahun ini kita tetap harus belajar. Setidaknya belajar berpolitik dari sisi yang lain. KPU sudah memutuskan ada dua kandidat, dua pasang dan satu yang akan melenggang ke istana. Mari gunakan hak pilih kita.
“Terdpt pembelajaran politik dan komparasi bagaimana mendukung capres dg cerdas dan elegan atau sebaliknya.” @komar_hidayat.
Atau, jangan-jangan sejak jaman pitekantropus sampai jaman politikus, politik memang seperti ini ? :D semoga tidak!
@KOWIMisme
0 komentar:
Posting Komentar