HMI dan Produksi Politisi



HMI dan Produksi Politisi
Mohammad Nasih ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan 
FISIP UMJ, Wakil Rektor STEBANK Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara
SINDO, 05 Februari 2013
 

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berulang tahun hari ini merupakan organisasi kemahasiswaan yang telah melahirkan banyak politisi.Dibandingkan dengan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang lain, bisa dipastikan bahwa HMI-lah yang paling banyak berkontribusi dalam menyediakan kader politisi. 

Namun, ini bukan berarti bahwa jumlah kader HMI yang kemudian menjalani karier sebagai politisi paling banyak. Dalam lini-lini kehidupan selain politik, sangat mudah ditemukan kader-kader HMI,terutama dalam birokrasi kampus, birokrasi pemerintahan, pengurus ormas, aktivis LSM, wirausaha,bahkan militer. Karena jumlah kader politisi yang sangat banyak, alumni HMI berdiaspora ke seluruh partai politik yang ada di Indonesia.

Perbedaan pilihan dalam melakukan afiliasi politik bagi kalangan kader HMI sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat biasa. Dalam perbedaan itu, para alumni HMI bisa berkumpul dengan penuh kehangatan laiknya satu keluarga yang dinamis.Sama sekali tidak ada fanatisme dan sinisme karena perbedaan pilihan afiliasi politik. Karena itu, alumni HMI ada di semua partai politik, baik yang berdasar formal Islam, nasionalisme, maupun yang lainnya, kecuali yang secara jelas dan tegas menjadikan agama non-Islam sebagai dasar formal pendirian atau ideologi.

Dalam menjalani aktivitas politik, alumni HMI terbilang sangat menonjol dan tidak sedikit yang menjadi pemimpin puncak partai politik, terutama di era pasca-Reformasi. Tidak hanya di level nasional, tetapi juga di level provinsi dan kabupaten/kota.Alumni HMI yang sangat menonjol dalam politik biasanya karena memiliki dua keunggulan sekaligus yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Dua keunggulan yang ada pada kader HMI itulah yang menyebabkan HMI menjadi kawah candradimuka— untuk tidak menyebutnya industri— politisi yang tidak pernah kekurangan stok. Keunggulan komparatif dimiliki karena HMI merupakan organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar sehingga potensi untuk memiliki kaderkader dengan kapasitas yang lebih baik juga lebih besar.Di antara sekian banyak kader yang terjaring oleh organisasi HMI,terdapat bibit-bibit kader yang sangat potensial.

Mereka itulah yang memiliki kapasitas akademik di bidang-bidang tertentu yang mereka geluti. Secara kuantitatif, ini terbukti dengan prestasi akademik di kampus dengan menjadi mahasiswa- mahasiswa terbaik. Mereka yang memiliki keunggulan ini biasanya sangat mudah untuk melanjutkan karier sebagai pengajar di perguruan tinggi, baik tempat mereka belajar atau perguruan tinggi yang lain. Sedangkan keunggulan kompetitif dimiliki oleh kader-kader HMI karena mereka berada pada budaya organisasi yang egaliter.

Dalam budaya egaliter tersebut, para kader HMI bisa bersaing secara bebas untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin organisasi. Tradisi ini menjadikan kader-kader HMI mengalami tempaan keras, terutama secara mental, karena harus mengalami tekanan dan tantangan berat dalam menjalani proses kompetisi.

Kebiasaan dalam suasana persaingan ketat inilah yang membuat kaderkader HMI memiliki kesiapan untuk menjalani dunia politik yang memang bisa dikatakan tidak pernah sepi dari kompetisi untuk memperebutkan posisi-posisi politik yang dianggap strategis.Tentu saja tujuan idealnya adalah agar bisa menjadikan posisi-posisi tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Sinergi Positif 

Dalam konteks struktur kenegaraan demokratis di Indonesia saat ini, banyak alumni HMI yang berada pada tiga poros kekuasaan (trias politica): legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena jumlah mereka yang berada dalam partai politik terbilang sangat banyak, dengan modal dua keunggulan yang mendukung, peluang mereka terpilih dalam pemilu juga menjadi besar.

Secara empiris, itu tampak dalam banyaknya alumni HMI yang terpilih menjadi anggota legislatif, baik di level nasional maupun daerah. Tidak ada fraksi yang sama sekali nihil dari alumni HMI. Demikian juga dalam struktur eksekutif dan yudikatif. Sejak era Orde Baru, struktur kabinet juga cukup dominan dengan kader HMI,baik karena pertimbangan politik, profesionalisme, atau bahkan kedua-duanya.

Keberadaan mereka yang lintas partai dan lintas poros tersebut memungkinkan mereka membangun jaringan.Karena itulah pernah muncul istilah “HMI connection”. Para alumni HMI tetap mampu menjalin komunikasi yang sangat intensif. Walaupun dalam konteks-konteks tertentu mereka terlibat konflik yang sangat sengit, tetapi dalam konteks-konteks yang lain mereka mampu bersinergi dengan sangat baik.

Komunikasi antaralumni HMI menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengusung agenda-agenda politik tertentu. Tentu saja komunikasi ini menjadi sarana yang terbilang netral. Dengan kata lain, komunikasi ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan sinergi untuk menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi tak jarang juga komunikasi ini menghasilkan sesuatu yang negatif dan berakibat destruktif. Tidak sedikit alumni HMI yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena diduga dan ada juga yang telah divonis hukuman akibat melakukan tindakan penyelewengan kekuasaan.

Namun, menilai bahwa mayoritas alumni HMI adalah amoral juga tidak fair karena terlalu banyak alumni HMI yang menjalani aktivitas politik dan bertahan dengan idealisme sebagaimana tujuan HMI yakni: “Terbinanya insan akademis, pencipta,pengabdi,yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT”.Di samping itu, lebih banyak lagi alumni HMI yang menjalani karier di luar dunia politik.

Akhirnya HMI sebagai kawah candradimuka yang selalu melahirkan kader politisi sangatlah penting. Politiklah yang bisa memengaruhi secara dominan perubahan negara dan masyarakat. Jika politik diisi oleh orang-orang yang baik, negara dan masyarakat akan baik. Namun, jika didominasi oleh mereka yang jahat, negara dan masyarakat juga akan rusak.

Karena itu, HMI memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan kaderisasi yang bisa melahirkan politisi yang baik agar diaspora politik alumni HMI menghasilkan sinergi dalam membangun dan mengembangkan idealitas sebagai kader umat dan bangsa guna mewujudkan baldatun thayyibatun (negeri yang baik). Sinergi dengan orientasi itulah yang akan membuat HMI senantiasa mendatangkan keberkahan sehingga tetap menjadi harapan masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam bi alshawab. ●


http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/hmi-dan-produksi-politisi.html

Martin Luther King dan Gus Dur



Martin Luther King dan Gus Dur
Emha Ainun Nadjib  Budayawan
KOMPAS, 25 Februari 2013


Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gus Dur setataran dan sewilayah jihad dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya ”memproklamasikan” itu dalam acara ”Tribute to Gus Dur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.

Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani dengan meletakkan saya yang berekam jejak di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme, dan demokrasi justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putri Gus Dur.

Martin Luther King terkenal dengan ungkapannya ”I have a dream”, Gus Dur termasyhur dengan ”Gitu saja kok repot” yang njangkungi Indonesia, dunia, dan kehidupan.
Jangkung artinya tinggi. Njangkungi atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, dijangkungi oleh Gus Dur. Martin Luther King masih berposisi ”aku mendambakan”, Gus Dur ”sudah mencapai”. Gus Dur berbaring sambil senyum-senyum dan menyeletuk, ”Gitu saja kok repot.”

Wakil dari komunitas Khonghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gus Dur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah yang bernasab Masyumi mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi: ”Cak, Khonghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gus Dur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gus Dur.”

Saya menjawab, ”Itu justru karena Gus Dur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman, dan sinisme supaya bangkit harga diri kalian.”

Peta politik, perekonomian, kebudayaan, dan apa pun sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak, dan kebodohan publik yang menciptakan pemetaan gang-gang dan jejaring intermanipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.

Maka, kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: ”Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombol bosok, kotor seperti apa pun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal.”

HAM

Di samping HAM (hak asasi manusia), ada WAM: wajib asasi manusia. Namun, itu tak saya tulis di sini. Yang pasti Martin Luther King adalah ”Mbah”-nya semangat HAM, Gus Dur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gus Dur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gus Dur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap da’wah bilisanil qoul (menganjurkan dengan kata-kata), sedangkan Gus Dur amal bililasil-hal (melakukan dan meneladani dengan perilaku).

Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap umat manusia. Bukan hitamnya yang dibela, melainkan hak kemanusiaannya. Bukan kulitnya, melainkan manusianya.

Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gus Dur, pasukan Banser selalu siap siaga menjaga gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi, dan ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.

Gus Dur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, tetapi sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).

Diskriminasi

Kehidupan umat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk-pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai jenis, konteks, dan modus diskriminasinya. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universal sering kali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.

Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan, atau posisi dalam peta kehidupan. 

Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh manajemen logika manusia. Kita tak boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.

Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga di antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada yang satu dapat gede, lainnya kecil.

Puluhan parpol tidak lolos KPU karena parameter teknis kuantitatif sehingga anggota parpol yang tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.

Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi Gus Dur. Apalagi, kita sedang mengalami era abu-abu ketika masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan mereka.

Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gus Dur. Di Jombang semula akan diresmikan Jalan Presiden Abdurrahman Wahid, sekarang kabarnya kata presiden dihilangkan.

Utamanya kaum Nahdliyin (umat NU) perlu menggiatkan upaya ilmiah obyektif, penelitian yang saksama dan rinci mengenai sejarah sosial Gus Dur. Secara keseluruhan umat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pemeo ”sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar persentasenya pada peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.

Para pencinta Gus Dur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gus Dur. Perlu ada semacam Buku Besar Gus Dur tentang benar-salah beliau selama kepresidenannya dan pemakzulan atas kedudukan beliau.

Dipertegas data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gus Dur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan rinci bahwa Gus Dur adalah pluralis pemersatu: pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gus Dur mendamaikan, dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: ”Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gus Dur hadir.”

Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gus Dur di alam barzakh soal ini, tetapi khawatir dijawab, ”Gitu saja kok repot!” Di samping itu, saya khawatir juga sebab di alam sana Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gus Dur. Orang-orang memanggilnya ”Gus Martin”.  ●

http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/martin-luther-king-dan-gus-dur.html

Penetapan Skala Prioritas Redenominasi



Penetapan Skala Prioritas Redenominasi
Susidarto Praktisi Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 23 Februari 2013

"Lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pengendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah"

PEMERINTAH, melalui Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), belakangan ini gencar  menyosiali­sasikan program redenominasi, yaitu mengubah nilai uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Pemerintah dan BI mendalihkan pada penurunan minat masyarakat terhadap uang rupiah lama, berkait kepraktisan, dan karena itu secara perlahan-lahan mengurangi penerbitan rupiah lama (periode 2016-2018). Diperkirakan tahun 2019 tak ada lagi orang berminat terhadap rupiah lama dan tahun 2022 pemerintah menerapkan redenominasi.
Apa perbedaan mendasar dari sanering yang dikhawatirkan banyak orang? Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai mata uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga barang dan jasa sehingga daya beli masyarakat otomatis menurun.

Dalam redenominasi tak ada kerugian karena daya beli masyarakat tetap sama. Hal itu berbeda dari sanering yang menimbulkan banyak kerugian karena daya beli masyarakat menurun drastis. Selain itu, redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan mata uang agar lebih efisien  dan nyaman dalam bertransaksi.

Tujuan berikutnya adalah untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan perekonomian negara regional. Berbeda dari sanering yang bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat keme­lonjakan harga-harga setelah terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).

Sudah sedemikian mendesakkah hingga pemerintah kita melakukan redenominasi, yang berisiko menimbulkan gejolak harga bila sosialisasi dan implementasinya tidak dibarengi disiplin tinggi sekaligus monitoring ekstraketat? Kita bisa melihat selama ini banyak kebijakan publik yang kedodoran akibat ketidakdisiplinan.

Tak hanya tidak berdisiplin menjalankan berbagai kriteria yang diperlukan terkait dengan kebijakan pu­blik, bangsa ini juga ambigu menerapkan kebijakan publik yang akan dan sudah diambil. Jadi, sudah tepatkan bila pemerintah menempatkan redenominasi sebagai prioritas utama dalam menentukan nasib rupiah? Padahal masih banyak persoalan bangsa me­nyangkut perekonomian, yang berujung pada kestabilan nilai tukar rupiah, yang perlu pembenahan cepat oleh pemerintah.

Ketimbang fokus pada persoalan redenominasi, lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pe­ngendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah. Pasalnya hal itulah yang lebih dibutuh­kan oleh pelaku dunia usaha. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa selama ini sulit mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.

Disiplin Pasar

Nilai tukar rupiah terus saja bergejolak, tanpa ada nilai yang pasti, padahal kondisi itu bisa menyulitkan eksportir dan importir. Kalau rupiah terlalu mahal maka importir yang akan kesulitan, sementara kalau terlalu murah maka eksportir yang akan kelabakan.
Kadin menyatakan persoalan nilai tukar rupiah masih memberatkan pengusaha dan pelaku industri,  termasuk importir dan eksportir. Nilai tukar moderat adalah Rp 9.600 per dolar AS. Semestinya keluhan Kadin dan asosiasi yang terkait dengan berbagai bisnis di Tanah Air perlu didengar oleh petinggi negeri ini, termasuk pejabat Kemenkeu dan BI. Kalau perlu mereka diajak membicarakan persoalan ini, termasuk melibatkan pelaku dunia usaha besar (skala korporasi).

Targetnya adalah kestabilan nilai tukar rupiah, bukan sekadar penguatan. Bukan saatnya lagi bangga terhadap penguatan nilai tukar rupiah. Pemerintahan China tidak mau nilai tukar renmimbi (yuan) terus mengalami penguatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Penguatan nilai tukar yuan justru membuat komoditas China tidak akan kompetitif di pasar internasional. Karena itu yang mereka lakukan justru menstabilkan mata uang sehingga ada iklim kepastian bagi dunia usaha.

Terkait rencana redenominasi, kita harus bicara masalah disiplin pasar dalam penerapan kebijakan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan  pedagang semaunya sendiri menaikkan harga barang dan jasa dalam bentuk pembulatan ke atas. Terutama harga komoditas yang tidak bulat ribuan atau jutaan. Pembulatan itu bisa saja dilakukan dengan alasan kepraktisan bertransaksi mengingat nantinya transaksi tak memerlukan pecahan kecil.
Persoalannya adalah bila fenomena pembulatan ke atas harga diterapkan untuk komoditas yang berjumlah banyak pasti memicu inflasi. Padahal kita acap lemah dalam persoalan kedisiplinan terkait dengan pengawasan dan pemberlakukan kebijakan baru. Kita tidak bisa memungkiri terlalu banyak orang ingin meraih keuntungan sesaat dengan mengabaikan rambu-rambu dan aturan main.

Mumpung belum telanjur, pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya berpikir ulang untuk menerapkan redenominasi. Kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi saja sampai saat ini  belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal kebijakan publik semacam itu menjadi batu ujian keberhasilan pemerintah me-launching sesuatu yang melibatkan banyak stakeholder, termasuk kebijakan sekelas redenominasi. Belajar dari pengalaman selama ini, lebih baik kita menunda rencana redenominasi. ●

http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/penetapan-skala-prioritas-redenominasi.html