Runtuhnya
Uang Kertas
Zaim Saidi ;
Pimpinan Wakala Induk Nusantara
REPUBLIKA,
16 Februari 2013
Dalam hadis riwayat Imam Ahmad
Rasulullah SAW jauh-jauh hari berkata, "Akan datang masanya ketika
tidak ada lagi yang bermanfaat kecuali dinar dan dirham." Pernyataan
ini mengacu pada sistem uang kertas, yang telah menggantikan uang emas
(dinar) dan uang perak (dirham), yang kini memperlihatkan keruntuhannya.
Hadis ini mendapatkan realitasnya dalam 40 tahun terakhir ini.
Runtuhnya uang kertas terjadi pada
hakikatnya yakni nilainya yang semakin susut. Uang kertas adalah pengkhianatan
atas takaran nilai atau harga, yang diwujudkan sebagai alat tukar, dari
fitrahnya semula berupa komoditas bernilai menjadi semata-mata simbol numerik.
Akibatnya, transaksi yang semula tunai bukan saja menjadi tertunda, tapi juga
menggelembung semu.
Metamorfosis Uang Kertas
Untuk memahami substansi dan posisi
hukumnya sebagai riba perlu dimengerti asal-muasal uang kertas. Untuk sampai
pada bentuk yang kita kenal hari ini uang kertas ber metamorfosis seiring
zaman. Setidaknya ada tiga tahap.
Pertama, uang kertas lahir sebagai
kuitansi (bukti utang), yang dikeluarkan para pandai emas dan perak, dan dapat
ditebuskan kembali oleh pemiliknya. Dalam syariat Islam, janji utang ini
dikenal sebagai dayn, yang haram dipakai sebagai alat jual-beli.
Pada satu titik pemerintah
memberikan hak monopoli penerbitan surat utang itu kepada satu pihak saja,
yaitu bank sentral. Maka, janji utang yang semula bersifat privat (antara
pemilik harta dan pihak yang dititipinya) kini menjadi publik dan dipaksakan
berlaku umum. Ini terjadi pada abad ke-17.
Kedua, para bankir yang sekarang
memonopoli itu secara sepihak mengubah uang kertas tadi dari janji utang (promissory
note) menjadi bank note, yaitu uang kertas tadi tidak lagi bisa
ditebuskan menjadi koin emas atau perak oleh pemiliknya. Meski setiap kali
mencetaknya para bankir tetap menjaminnya dengan emas atau perak batangan. Ini
disebut sebagai sistem standar emas, berlaku pada abad ke-20.
Di Amerika perubahan itu terjadi
pada 1933, pascadepresi hebat. Rakyat Amerika dilarang memiliki emas dan harus
menyerahkannya kepada The Federal Reserve, perusahaan swasta pemegang
monopoli dolar AS. Rakyat boleh kembali membelinya sebagai batangan, tapi
dengan harga lebih mahal.
Kemudian, sejak 1944 Sistem Bretton
Wood berhasil dipaksakan sebagai sistem internasioal. Intinya, satu-satunya
uang kertas yang didukung emas hanya dolar AS (kurs 35 dolar AS/oz), seluruh
mata uang kertas lain dikurs tetap terhadap dolar AS. Ini berlangsung sampai
1971.
Ketiga, pada Agustus 1971, Richard
Nixon, presiden AS yang hampir bangkrut karena Perang Vietnam, secara sepihak
mengakhiri Bretton Wood, mencabut ikatan emas atas dolar AS. Maka, bank sentral
dapat mencetak uang kertas sekehendaknya. Uang kertas bernilai dan diterima
sebagai alat tukar sepenuhnya atas dasar paksaan undang-undang. Kurs
antaruang kertas pun tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah, melainkan oleh para
pedagang uang.
Kisah Rupiah
Lahir sebagai negara fiskal baru,
1946, Republik Indonesia mengadopsi model yang sama. BNI 46 ditetapkan sebagai
Bank Sentral, menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), dengan janji tiap Rp
2 bernilai satu gram emas.
Bankir internasional menolaknya.
Setelah menyerah dalam Konferensi Meja Bundar (1949), sebagai syarat pengakuan
atas RI, BNI 46 diganti oleh De Javasche Bank (mulai 1951 diubah jadi Bank
Indonesia), ORI diganti dengan UBI (Uang Bank Indonesia).
Begitu diakui (1949) rupiah dipatok
Rp 3,8 per dolar AS. Saat ORI jadi UBI (1952) rupiah melorot ke Rp 11,4 per
dolar. Sepanjang waktu kemudian rupiah terus melorot sampai Rp 45 (1959),
sempat melesat ke Rp 0,25 (1965), berkat sanering (Rp 1.000 menjadi Rp 1) oleh
Presiden Soekarno. Selama Orde Baru atas order IMF dan Bank Dunia rupiah
berkali-kali didevaluasi.
Rupiah kemudian `terjun bebas'
pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing --lagi-lagi atas kemauan
IMF dan Bank Dunia-- dalam sistem kurs mengambang, dengan titik terendah Rp 16
ribu, awal 1998. Saat ini fluktuatif di Rp 9.500-Rp 10 ribu. Sementara
dolar AS sendiri, yang berlaku sebagai jangkar, telah kehilangan lebih dari 95
persen daya belinya sejak berlaku pada 1913. Rupiah telah kehilangan 99 persen
daya belinya sejak 1946.
Belakangan para bankir menemukan
teknik baru, bukan untuk menghentikan, tapi menyembunyikan, proses keruntuhan
uang kertas. Namanya redenominasi. Pembuangan beberapa angka 0 adalah
untuk memberi efek psikologis masyarakat untuk tidak merasa semakin
miskin.
Realitas sejatinya tidak bisa
dikelabui. Dalam rentang dua tahun terakhir saja sejak isu redenominasi
dilontarkan 2010 lalu, diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah
kehilangan lebih dari 25 persen daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100 ribu dapat
7 kg telor ayam, hari ini cuma dapat 5 kg.
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/runtuhnya-uang-kertas.html
0 komentar:
Posting Komentar