Penetapan
Skala Prioritas Redenominasi
Susidarto ;
Praktisi Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
SUARA
MERDEKA, 23 Februari 2013
"Lebih baik pemerintah dan BI
memprioritaskan pengendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar
rupiah"
PEMERINTAH, melalui Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), belakangan ini gencar menyosialisasikan program redenominasi, yaitu mengubah nilai uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Pemerintah dan BI mendalihkan pada penurunan minat masyarakat terhadap uang rupiah lama, berkait kepraktisan, dan karena itu secara perlahan-lahan mengurangi penerbitan rupiah lama (periode 2016-2018). Diperkirakan tahun 2019 tak ada lagi orang berminat terhadap rupiah lama dan tahun 2022 pemerintah menerapkan redenominasi.
Apa perbedaan mendasar dari sanering
yang dikhawatirkan banyak orang? Sanering adalah pemotongan daya beli
masyarakat melalui pemotongan nilai mata uang. Hal yang sama tidak dilakukan
pada harga barang dan jasa sehingga daya beli masyarakat otomatis menurun.
Dalam redenominasi tak ada kerugian
karena daya beli masyarakat tetap sama. Hal itu berbeda dari sanering yang
menimbulkan banyak kerugian karena daya beli masyarakat menurun drastis. Selain
itu, redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan mata uang agar lebih
efisien dan nyaman dalam bertransaksi.
Tujuan berikutnya adalah untuk
mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan perekonomian negara regional.
Berbeda dari sanering yang bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat
kemelonjakan harga-harga setelah terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat
tinggi).
Sudah sedemikian mendesakkah hingga
pemerintah kita melakukan redenominasi, yang berisiko menimbulkan gejolak harga
bila sosialisasi dan implementasinya tidak dibarengi disiplin tinggi sekaligus
monitoring ekstraketat? Kita bisa melihat selama ini banyak kebijakan publik
yang kedodoran akibat ketidakdisiplinan.
Tak hanya tidak berdisiplin
menjalankan berbagai kriteria yang diperlukan terkait dengan kebijakan publik,
bangsa ini juga ambigu menerapkan kebijakan publik yang akan dan sudah diambil.
Jadi, sudah tepatkan bila pemerintah menempatkan redenominasi sebagai prioritas
utama dalam menentukan nasib rupiah? Padahal masih banyak persoalan bangsa menyangkut
perekonomian, yang berujung pada kestabilan nilai tukar rupiah, yang perlu
pembenahan cepat oleh pemerintah.
Ketimbang fokus pada persoalan
redenominasi, lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pengendalian
inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah. Pasalnya hal itulah
yang lebih dibutuhkan oleh pelaku dunia usaha. Mau tidak mau kita harus
mengakui bahwa selama ini sulit mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.
Disiplin Pasar
Nilai tukar rupiah terus saja
bergejolak, tanpa ada nilai yang pasti, padahal kondisi itu bisa menyulitkan
eksportir dan importir. Kalau rupiah terlalu mahal maka importir yang akan
kesulitan, sementara kalau terlalu murah maka eksportir yang akan kelabakan.
Kadin menyatakan persoalan nilai
tukar rupiah masih memberatkan pengusaha dan pelaku industri, termasuk
importir dan eksportir. Nilai tukar moderat adalah Rp 9.600 per dolar AS.
Semestinya keluhan Kadin dan asosiasi yang terkait dengan berbagai bisnis di
Tanah Air perlu didengar oleh petinggi negeri ini, termasuk pejabat Kemenkeu
dan BI. Kalau perlu mereka diajak membicarakan persoalan ini, termasuk
melibatkan pelaku dunia usaha besar (skala korporasi).
Targetnya adalah kestabilan nilai
tukar rupiah, bukan sekadar penguatan. Bukan saatnya lagi bangga terhadap
penguatan nilai tukar rupiah. Pemerintahan China tidak mau nilai tukar renmimbi
(yuan) terus mengalami penguatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu.
Penguatan nilai tukar yuan justru membuat komoditas China tidak akan kompetitif
di pasar internasional. Karena itu yang mereka lakukan justru menstabilkan mata
uang sehingga ada iklim kepastian bagi dunia usaha.
Terkait rencana redenominasi, kita
harus bicara masalah disiplin pasar dalam penerapan kebijakan tersebut. Tidak
tertutup kemungkinan pedagang semaunya sendiri menaikkan harga barang dan
jasa dalam bentuk pembulatan ke atas. Terutama harga komoditas yang tidak bulat
ribuan atau jutaan. Pembulatan itu bisa saja dilakukan dengan alasan
kepraktisan bertransaksi mengingat nantinya transaksi tak memerlukan pecahan
kecil.
Persoalannya adalah bila fenomena
pembulatan ke atas harga diterapkan untuk komoditas yang berjumlah banyak pasti
memicu inflasi. Padahal kita acap lemah dalam persoalan kedisiplinan terkait
dengan pengawasan dan pemberlakukan kebijakan baru. Kita tidak bisa memungkiri
terlalu banyak orang ingin meraih keuntungan sesaat dengan mengabaikan
rambu-rambu dan aturan main.
Mumpung belum
telanjur, pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya berpikir ulang untuk
menerapkan redenominasi. Kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi saja
sampai saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal kebijakan
publik semacam itu menjadi batu ujian keberhasilan pemerintah me-launching
sesuatu yang melibatkan banyak stakeholder, termasuk kebijakan sekelas
redenominasi. Belajar dari pengalaman selama ini, lebih baik kita menunda
rencana redenominasi. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/penetapan-skala-prioritas-redenominasi.html
0 komentar:
Posting Komentar