Pengangguran
Terselubung
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM
Universitas Andalas
SINDO,
21 Februari 2013
Pernah
dalam suatu kesempatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Djoko
Santoso berseloroh sebelum beliau memulai presentasi,bahwa sebenarnya
pengangguran tamatan pendidikan tinggi itu tidak serius.
Kenapa? Karena para sarjana yang dianggap menganggur bukanlah menganggur. Mereka yang masih berpikir untukmencaripekerjaansebenarnya telah bekerja setidaknya memikirkan pekerjaan. Pada kesempatan lain tahun 1990-an,Aris Ananda, ekonom jebolan Duke University, juga pernah menyatakan bahwa menganggur itu merupakan jasa mewah, alias masuk kategori waktu “luks”.
Oleh karena itu,para penganggur tidak perlu dikasihani, karena mereka yang menganggur masih menerima subsidi dari keluarga. Sepanjang subsidi itu masih tersedia, maka menganggur masih akan jalan terus. Kedua pandangan di atas tentunya hanyalah sebuah pandangan yang skeptis, di mana persoalan pengangguran terdidik sebenarnya sebuah fenomena mirip gunung es.
Di Eropa, krisis saat ini memang telah membuat angka pengangguran tertinggi dalam abad ke-21. Katakan itu terjadi di Italia, Spanyol, dan Yunani. Angka pengangguran terdidik usia muda sudah di atas 55%. Hingga kini belum ada tanda-tanda angka pengangguran di Eropa untuk menurun.
Pengangguran di negara di mana pasar kerjanya formal, serta pemerintahan menganut “negara kesejahteraan”, persoalan pengangguran jauh lebih berat dibandingkan dengan persoalan pengangguran terbuka di negara berkembang, karena masyarakatnya sudah dimanjakan dengan sistem kompensasi pengangguran. Pekerjaan nonformal sulit ditumbuhkan, karena masyarakatnya tidak terbiasa untuk masuk ke pasar kerja di luar sistem upahan, selain dari ketatnya regulasi.
Sebaliknya pada masa di mana Indonesia tumbuh ekonominya pada rentang 6–6,5%, angka pengangguran terbuka telah menurun.Angka terakhir tahun 2012 mendekati 6% telah turun sekitar 3% poin dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya 2007. Namun, rendahnya angka pengangguran terbuka itu tidak sejalan dengan angka pengangguran terdidik dan kalangan muda.Variasinya sangat jelas dan besaran angka pengangguran tetap membahayakan.
Data pengangguran terdidik memang baru menampilkan persentase penganggur berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, sehingga angka total pengangguran terdidik tidak separah yang dibayangkan. Data dasar Susenas ketika di lebih detail temuan justru mencengangkan. Untuk jurusan-jurusan sains dasar dan ilmu pertanian,angka pengangguran sarjananya setidaknya sudah di atas 30%.
Angka pengangguran bidang sosial,seperti hukum,keagamaan, ilmusosiallainnya,dansastra, angka pengangguran juga pada kisaran itu.Hanya untuk bidangbidang tertentu, seperti IT, akuntansi, dan bisnis, angka pengangguran di bawah 10%. Angka pengangguran tamat SLTA masih tinggi sekalipun tamat pendidikan kejuruan.
Persoalan pengangguran terbuka anak muda dan mereka terdidik lebih diperparah lagi dengan kenyataan mereka yang bekerja, namun masih rendah jam kerjanya. Jika digabung antara pengangguran dan bekerja di bawah jam kerja normal (di bawah 15 jam per minggu),maka jelas fenomena pengangguran terselubung bagi anak muda dan terdidik adalah fenomena sangat serius ke depan.
Benahi Sisi Suplai
Pada kesempatan ini, yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan pengangguran terselubung anak muda, dan terdidik adalah menyiapkan nilai stok keterampilan mereka. Dengan naiknya angka pengangguran terselubung terdidik, dapat dipastikan bahwa pada masa yang akan datang proses pendidikan mesti lebih diarahkan untuk peningkatan psikomotorik serta keterampilan- keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik.
Siapa yang membenahi sisi penawaran “supply side”? Apa pula yang harus dibenahi? Pada sisi penawaran,maka yang mesti dibenahi adalah keterampilan kerja. Mustahil kalau keterampilan kerja anak muda tidak ada,mereka akan mudah hidup secara mandiri.Oleh karena itu, peta keperluan penyediaan keterampilan kerja menjadi sangat perlu disiapkan oleh masing-masing daerah.
Ketika peta keterampilan disusun dan dirumuskan,masingmasing pemerintah daerah perlu mendorong agar jenjang pendidikan menengah dan tinggi dipermudah proses perizinan, serta pemusatan dan pengembangan bidang-bidang keterampilan yang disediakan. Selama ini, gagasan untuk mewujudkan pergeseran komposisi pendidikan kejuruan belum ditindaklanjuti oleh penguatan instruktur, serta bengkel- bengkel kerja.
Gagasan menuju 60% tamatan pendidikan berketerampilan untuk jenjang pendidikan menengah atas sepertinya hanya dilempar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemudian dengan desentralisasi pembangunan, daerah-daerah tidak melihat persoalan ini merupakan sebuah yang urgen untuk ditindaklanjuti.
Menyediakan tenaga-tenaga pada level 4–7 dalam kerangka kualitas pendidikan tinggi Indonesia Indonesian Quality Framework (IQF),memerlukan keseriusan dari pemerintah daerah. Karena menyediakan keterampilan kerja itu memerlukan tenaga, infrastruktur pendukung, dan sistem pendidikannya.
Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi, pemerintah baru menggarap lahirnya kepoliteknikan.Itu pun masih jauh dari kebutuhan yang mesti disediakan.Pendidikan tinggi umum dan kepoliteknikan juga daya geraknya masih sedikit.Ditambah regulasi yang belum mendorong keterlibatan masyarakat untuk menyediakan pelayanan pendidikan.
Lantas, bagaimana pula keterlibatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi? Sama saja dengan Kemendikbud, balai-balai latihan tenaga kerja yang selama ini tersedia masih jauh aktivitasnya untuk menjawab kebutuhan keterampilan lokal.Alasan klasik, pemerintah daerah tidak memiliki pembiayaan untuk menyediakan kursus keterampilan.
Oleh karena itu,pengangguran terselubung sebaiknya dijadikan sebagai agenda yang mendesak untuk diselesaikan. Tentunya ini dapat dilakukan bilamana pemerintah tidak saja terkesima dengan penurunan angka pengangguran terbuka, namun potensi pengangguran terdidik yang terselubung terutama disebabkan kurangnya keterampilan kerja. ●
Kenapa? Karena para sarjana yang dianggap menganggur bukanlah menganggur. Mereka yang masih berpikir untukmencaripekerjaansebenarnya telah bekerja setidaknya memikirkan pekerjaan. Pada kesempatan lain tahun 1990-an,Aris Ananda, ekonom jebolan Duke University, juga pernah menyatakan bahwa menganggur itu merupakan jasa mewah, alias masuk kategori waktu “luks”.
Oleh karena itu,para penganggur tidak perlu dikasihani, karena mereka yang menganggur masih menerima subsidi dari keluarga. Sepanjang subsidi itu masih tersedia, maka menganggur masih akan jalan terus. Kedua pandangan di atas tentunya hanyalah sebuah pandangan yang skeptis, di mana persoalan pengangguran terdidik sebenarnya sebuah fenomena mirip gunung es.
Di Eropa, krisis saat ini memang telah membuat angka pengangguran tertinggi dalam abad ke-21. Katakan itu terjadi di Italia, Spanyol, dan Yunani. Angka pengangguran terdidik usia muda sudah di atas 55%. Hingga kini belum ada tanda-tanda angka pengangguran di Eropa untuk menurun.
Pengangguran di negara di mana pasar kerjanya formal, serta pemerintahan menganut “negara kesejahteraan”, persoalan pengangguran jauh lebih berat dibandingkan dengan persoalan pengangguran terbuka di negara berkembang, karena masyarakatnya sudah dimanjakan dengan sistem kompensasi pengangguran. Pekerjaan nonformal sulit ditumbuhkan, karena masyarakatnya tidak terbiasa untuk masuk ke pasar kerja di luar sistem upahan, selain dari ketatnya regulasi.
Sebaliknya pada masa di mana Indonesia tumbuh ekonominya pada rentang 6–6,5%, angka pengangguran terbuka telah menurun.Angka terakhir tahun 2012 mendekati 6% telah turun sekitar 3% poin dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya 2007. Namun, rendahnya angka pengangguran terbuka itu tidak sejalan dengan angka pengangguran terdidik dan kalangan muda.Variasinya sangat jelas dan besaran angka pengangguran tetap membahayakan.
Data pengangguran terdidik memang baru menampilkan persentase penganggur berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, sehingga angka total pengangguran terdidik tidak separah yang dibayangkan. Data dasar Susenas ketika di lebih detail temuan justru mencengangkan. Untuk jurusan-jurusan sains dasar dan ilmu pertanian,angka pengangguran sarjananya setidaknya sudah di atas 30%.
Angka pengangguran bidang sosial,seperti hukum,keagamaan, ilmusosiallainnya,dansastra, angka pengangguran juga pada kisaran itu.Hanya untuk bidangbidang tertentu, seperti IT, akuntansi, dan bisnis, angka pengangguran di bawah 10%. Angka pengangguran tamat SLTA masih tinggi sekalipun tamat pendidikan kejuruan.
Persoalan pengangguran terbuka anak muda dan mereka terdidik lebih diperparah lagi dengan kenyataan mereka yang bekerja, namun masih rendah jam kerjanya. Jika digabung antara pengangguran dan bekerja di bawah jam kerja normal (di bawah 15 jam per minggu),maka jelas fenomena pengangguran terselubung bagi anak muda dan terdidik adalah fenomena sangat serius ke depan.
Benahi Sisi Suplai
Pada kesempatan ini, yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan pengangguran terselubung anak muda, dan terdidik adalah menyiapkan nilai stok keterampilan mereka. Dengan naiknya angka pengangguran terselubung terdidik, dapat dipastikan bahwa pada masa yang akan datang proses pendidikan mesti lebih diarahkan untuk peningkatan psikomotorik serta keterampilan- keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik.
Siapa yang membenahi sisi penawaran “supply side”? Apa pula yang harus dibenahi? Pada sisi penawaran,maka yang mesti dibenahi adalah keterampilan kerja. Mustahil kalau keterampilan kerja anak muda tidak ada,mereka akan mudah hidup secara mandiri.Oleh karena itu, peta keperluan penyediaan keterampilan kerja menjadi sangat perlu disiapkan oleh masing-masing daerah.
Ketika peta keterampilan disusun dan dirumuskan,masingmasing pemerintah daerah perlu mendorong agar jenjang pendidikan menengah dan tinggi dipermudah proses perizinan, serta pemusatan dan pengembangan bidang-bidang keterampilan yang disediakan. Selama ini, gagasan untuk mewujudkan pergeseran komposisi pendidikan kejuruan belum ditindaklanjuti oleh penguatan instruktur, serta bengkel- bengkel kerja.
Gagasan menuju 60% tamatan pendidikan berketerampilan untuk jenjang pendidikan menengah atas sepertinya hanya dilempar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemudian dengan desentralisasi pembangunan, daerah-daerah tidak melihat persoalan ini merupakan sebuah yang urgen untuk ditindaklanjuti.
Menyediakan tenaga-tenaga pada level 4–7 dalam kerangka kualitas pendidikan tinggi Indonesia Indonesian Quality Framework (IQF),memerlukan keseriusan dari pemerintah daerah. Karena menyediakan keterampilan kerja itu memerlukan tenaga, infrastruktur pendukung, dan sistem pendidikannya.
Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi, pemerintah baru menggarap lahirnya kepoliteknikan.Itu pun masih jauh dari kebutuhan yang mesti disediakan.Pendidikan tinggi umum dan kepoliteknikan juga daya geraknya masih sedikit.Ditambah regulasi yang belum mendorong keterlibatan masyarakat untuk menyediakan pelayanan pendidikan.
Lantas, bagaimana pula keterlibatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi? Sama saja dengan Kemendikbud, balai-balai latihan tenaga kerja yang selama ini tersedia masih jauh aktivitasnya untuk menjawab kebutuhan keterampilan lokal.Alasan klasik, pemerintah daerah tidak memiliki pembiayaan untuk menyediakan kursus keterampilan.
Oleh karena itu,pengangguran terselubung sebaiknya dijadikan sebagai agenda yang mendesak untuk diselesaikan. Tentunya ini dapat dilakukan bilamana pemerintah tidak saja terkesima dengan penurunan angka pengangguran terbuka, namun potensi pengangguran terdidik yang terselubung terutama disebabkan kurangnya keterampilan kerja. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/pengangguran-terselubung.html
0 komentar:
Posting Komentar