Martin
Luther King dan Gus Dur
Emha Ainun Nadjib ; Budayawan
KOMPAS,
25 Februari 2013
Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gus Dur setataran dan sewilayah jihad dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya ”memproklamasikan” itu dalam acara ”Tribute to Gus Dur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.
Penyelenggara menerapkan kearifan
nilai yang perlu diteladani dengan meletakkan saya yang berekam jejak di
wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme, dan demokrasi justru sebagai
pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putri Gus Dur.
Martin Luther King terkenal dengan
ungkapannya ”I have a dream”, Gus Dur termasyhur dengan ”Gitu saja
kok repot” yang njangkungi Indonesia, dunia, dan kehidupan.
Jangkung artinya tinggi.
Njangkungi atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli.
Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, dijangkungi oleh Gus Dur.
Martin Luther King masih berposisi ”aku mendambakan”, Gus Dur ”sudah mencapai”.
Gus Dur berbaring sambil senyum-senyum dan menyeletuk, ”Gitu saja kok repot.”
Wakil dari komunitas Khonghucu
menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gus Dur yang membuat mereka
memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa
tokoh HMI dan Muhammadiyah yang bernasab Masyumi mendatangi saya di pojok
ketika istirahat ngopi: ”Cak, Khonghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem
kecut. Gus Dur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi.
ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gus Dur.”
Saya menjawab, ”Itu justru karena
Gus Dur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat sehingga tidak perlu
disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman, dan sinisme supaya bangkit harga
diri kalian.”
Peta politik, perekonomian,
kebudayaan, dan apa pun sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian
kelompok, kepentingan sepihak, dan kebodohan publik yang menciptakan pemetaan
gang-gang dan jejaring intermanipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya
politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang
siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum
independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.
Maka, kepada teman-teman yang
mengeluh itu saya berfilsafat: ”Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan
direwelin orang. Kalau ada gombol bosok, kotor seperti apa pun tidak dianggap
kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal.”
HAM
Di samping HAM (hak asasi manusia),
ada WAM: wajib asasi manusia. Namun, itu tak saya tulis di sini. Yang pasti
Martin Luther King adalah ”Mbah”-nya semangat HAM, Gus Dur penikmat HAM. Martin
Luther berjuang memerdekakan manusia, Gus Dur adalah manusia paling merdeka.
Kalau pakai idiom Islamnya Gus Dur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap
da’wah bilisanil qoul (menganjurkan dengan kata-kata), sedangkan Gus Dur
amal bililasil-hal (melakukan dan meneladani dengan perilaku).
Andaikan yang didiskriminasikan di
Amerika adalah kulit putih, Martin Luther tetap begitu juga perjuangannya.
Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan
menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap umat
manusia. Bukan hitamnya yang dibela, melainkan hak kemanusiaannya. Bukan
kulitnya, melainkan manusianya.
Atas aspirasi pluralisme dan
anti-kekerasan yang dirintis Gus Dur, pasukan Banser selalu siap siaga menjaga
gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik
model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah,
sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah
pelatihan-pelatihan iman, uji militansi, dan ketahanan juang. Kaum Muslimin
memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.
Gus Dur adalah seorang Bapak yang
amat santun kepada tetangganya, tetapi sangat keras mendidik disiplin mental
anak-anaknya sendiri dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai
budaya Jombang, agar anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu
diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi),
dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau
disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).
Diskriminasi
Kehidupan umat manusia di permukaan
bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk-pikuk oleh
silang sengkarut diskriminasi, berbagai jenis, konteks, dan modus
diskriminasinya. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi
eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan
natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar,
berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universal sering kali berdampingan,
bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.
Mungkin sekali diskriminasi
dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi
adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks yang berkaitan dengan identitas,
eksistensi, letak keberadaan, atau posisi dalam peta kehidupan.
Sedangkan keadilan dan ketidakadilan
adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa
dijangkau oleh manajemen logika manusia. Kita tak boleh pernah berhenti mencari
dan memperjuangkannya.
Kalau dua anak kita belikan baju
dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau
kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga di
antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk
burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada
yang satu dapat gede, lainnya kecil.
Puluhan parpol tidak lolos KPU
karena parameter teknis kuantitatif sehingga anggota parpol yang tidak lulus
memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi
orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri
dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang
independen, sekali lagi: tiada.
Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak
mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru
sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa Amerika sudah melewati kurun
waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam
sejarahnya, sementara bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk
memastikan posisi Gus Dur. Apalagi, kita sedang mengalami era abu-abu ketika
masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan
mereka.
Kita mengalami ambiguitas pandangan
yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya
termasuk M Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gus
Dur. Di Jombang semula akan diresmikan Jalan Presiden Abdurrahman Wahid,
sekarang kabarnya kata presiden dihilangkan.
Utamanya kaum Nahdliyin (umat NU)
perlu menggiatkan upaya ilmiah obyektif, penelitian yang saksama dan rinci
mengenai sejarah sosial Gus Dur. Secara keseluruhan umat Islam perlu
membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana
adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pemeo ”sejarah itu milik
mereka yang menang” perlu ditakar persentasenya pada peta pengetahuan sejarah
bangsa Indonesia.
Para pencinta Gus Dur juga perlu
segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan
persepsi tentang Gus Dur. Perlu ada semacam Buku Besar Gus Dur tentang
benar-salah beliau selama kepresidenannya dan pemakzulan atas kedudukan beliau.
Dipertegas data sejarah dan fakta-fakta
sosial di mana dan kapan saja Gus Dur memperjuangkan keadilan, mendamaikan
bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan
rinci bahwa Gus Dur adalah pluralis pemersatu: pada peristiwa apa, kapan, di
mana, Gus Dur mendamaikan, dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan
faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: ”Sebutkan apa saja yang tidak
pecah setelah Gus Dur hadir.”
Terkadang ada niat saya bertanya
langsung kepada Gus Dur di alam barzakh soal ini, tetapi khawatir dijawab, ”Gitu
saja kok repot!” Di samping itu, saya khawatir juga sebab di alam sana
Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gus Dur. Orang-orang memanggilnya ”Gus
Martin”. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/martin-luther-king-dan-gus-dur.html
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/martin-luther-king-dan-gus-dur.html
0 komentar:
Posting Komentar