Abduh,
Politik, dan Agama
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO,
23 Februari 2013
Saking jengkelnya terhadap politik
dan politisi, seorang mujadid Islam sekaliber Muhammad Abduh (1849–1905) pernah
mengatakan begini, “Audzu billaahi minas siyaasati was siyaasiyyien (aku
berlindung kepada Allah dari godaan politik dan para politisi).” Ini hampir
sama dengan doa taawwudz yang berbunyi, “Audzu billaahi minas
syaithaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk).”
Pernyataan sang mujadid memang menyentak, bukan hanya pada saat diucapkan kira-kira 120 tahun yang lalu, tetapi juga menyentak dan relevan sampai sekarang, di sini, di negara kita ini. Saat ini banyak sekali gugatan masyarakat terhadap politik dan politisi kita lantaran banyaknya korupsi, kolusi, dan lemahnya hukum. Ikan-ikan dilaut di curi orang, kayu-kayu di hutan ditebang dan dijual secara liar, pertambangan dijarah dengan kolusi, uang negara dikorupsi, hukum tidak bisa ditegakkan.
Masyarakat sering merasakan bahwa pengorganisasian dan pengaturan negara seperti mewujud menjadi jaringan korupsi dan kolusi. Semua itu banyak disebabkan permainan politik, politisi, dan pejabat-pejabat penting. Namun apakah politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik.
Guru Muhammad Abduh sendiri, Jamaluddinal-Afghany, justru setengah mewajibkan umat Islam berpolitik. Katanya, agar kebijakan negara bisa memancarkan keagungan ajaran Islam, orang-orang Islam harus mengisi kursikursi parlemen melalui kegiatan politik. Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama belaka dengan apa yang dikemukakan secara berapiapi oleh Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945.
Pada pidatonya itu Bung Karno mengemukakan bahwa kalau orang-orang Islam ingin agar hukum-hukum di Indonesia bercorak Islam, hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut sebanyak-banyaknya kursi di parlemen sehingga bisa memengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen menginginkan agar hokum-hukum di Indonesia ber-letter Kristen, orang-orang Kristen harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen.
Untuk orang-orang Islam, apa yang dikemukakan Al- Afghany dan Soekarno itu didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Maa laa yatimmul waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik, berpolitik itu hukumnya menjadi wajib.
Karena hidup dalam organisasi negara itu adalah keharusan yang tak bisa dihindari setiap manusia dan jalannya organisasi negara itu selalu didasarkan pada aturan main politik dan kontestasi politik, untuk menjadikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai dasar-dasar kebijakan negara kita harus berpolitik.
Tak mungkinlah kita memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum kalau kita tidak menggunakan instrumen dan proses politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly yang dikenal sebagai hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ad-dien was-sulthaan taw’amaan, memperjuangkan kebaikan agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah dua saudara kembar.
Sungguh musykil Anda akan bisa memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur jika tidak mempunyai kekuasaan politik, sebaliknya Anda bisa menjadi sesat dan jahat dalam berpolitik kalau tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur agama. Agama apa pun yang Anda peluk. Mengapa Abduh begitu alergi dan garang terhadap politik? Mengapa pula, sebaliknya, Al-Ghazaly dan Al-Afghany mengharuskan kita berpolitik?
Jawabannya,mungkin, sederhana. Abduh berbicara tentang das sein atau fakta yang dilihat dan dialami sendiri pada masa itu, saat politik dikerjakan secara kotor, keji, penuh fitnah, dan koruptif. Adapun Al- Ghazaly dan Al-Afghany berbicara tentang das sollen atau keharusan untuk berpolitik secara bersih guna memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur.
Tampaknya,saat ini,kita sedang dihadapkan atau dipaksa melihat permainan politik seperti yang dirasakan dan dilihat oleh Abduh. Di depan mata kita, di negeri ini, permainan politik oleh banyak politikus sudah begitu kotornya. Politikus yang tertangkap melakukan korupsi masih membawa-bawa nama Tuhan dengan mengatakan tanpa tahu malu, “Ini ujian dari Allah karena Allah akan membesarkan partai kami.”
Astaghfirullah, ini gila. Alih-alih mengaku salah dan minta maaf sesuai dengan ajaran agama, malah mencari-cari alasan pembenar dengan membawa-bawa nama Allah. Meskipun begitu, kita tak boleh membuang das sollen, kita tidak boleh mengharamkan berpolitik, sebab yang terjadi sekarang ini adalah insidental saja.
Kita harus tetap berpolitik sebagai kenyataan yang tak terhindarkan dan harus menyehatkan parpol sebagai alat perjuangan yang sah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita tidak boleh terbawa oleh hujatan masyarakat yang marah dan berteriak agar parpol dihapus, melainkan harus bekerja keras untuk menyehatkan parpol. Parpol adalah keniscayaan di dalam negara demokrasi.
Di dalam negara konstitusional yang demokratis lebih baik ada parpol meskipun jelek daripada tidak ada parpol. Kesadaran kolektif yang harus dibangun adalah “sehatkan parpol”. ●
Pernyataan sang mujadid memang menyentak, bukan hanya pada saat diucapkan kira-kira 120 tahun yang lalu, tetapi juga menyentak dan relevan sampai sekarang, di sini, di negara kita ini. Saat ini banyak sekali gugatan masyarakat terhadap politik dan politisi kita lantaran banyaknya korupsi, kolusi, dan lemahnya hukum. Ikan-ikan dilaut di curi orang, kayu-kayu di hutan ditebang dan dijual secara liar, pertambangan dijarah dengan kolusi, uang negara dikorupsi, hukum tidak bisa ditegakkan.
Masyarakat sering merasakan bahwa pengorganisasian dan pengaturan negara seperti mewujud menjadi jaringan korupsi dan kolusi. Semua itu banyak disebabkan permainan politik, politisi, dan pejabat-pejabat penting. Namun apakah politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik.
Guru Muhammad Abduh sendiri, Jamaluddinal-Afghany, justru setengah mewajibkan umat Islam berpolitik. Katanya, agar kebijakan negara bisa memancarkan keagungan ajaran Islam, orang-orang Islam harus mengisi kursikursi parlemen melalui kegiatan politik. Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama belaka dengan apa yang dikemukakan secara berapiapi oleh Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945.
Pada pidatonya itu Bung Karno mengemukakan bahwa kalau orang-orang Islam ingin agar hukum-hukum di Indonesia bercorak Islam, hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut sebanyak-banyaknya kursi di parlemen sehingga bisa memengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen menginginkan agar hokum-hukum di Indonesia ber-letter Kristen, orang-orang Kristen harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen.
Untuk orang-orang Islam, apa yang dikemukakan Al- Afghany dan Soekarno itu didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Maa laa yatimmul waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik, berpolitik itu hukumnya menjadi wajib.
Karena hidup dalam organisasi negara itu adalah keharusan yang tak bisa dihindari setiap manusia dan jalannya organisasi negara itu selalu didasarkan pada aturan main politik dan kontestasi politik, untuk menjadikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai dasar-dasar kebijakan negara kita harus berpolitik.
Tak mungkinlah kita memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum kalau kita tidak menggunakan instrumen dan proses politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly yang dikenal sebagai hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ad-dien was-sulthaan taw’amaan, memperjuangkan kebaikan agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah dua saudara kembar.
Sungguh musykil Anda akan bisa memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur jika tidak mempunyai kekuasaan politik, sebaliknya Anda bisa menjadi sesat dan jahat dalam berpolitik kalau tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur agama. Agama apa pun yang Anda peluk. Mengapa Abduh begitu alergi dan garang terhadap politik? Mengapa pula, sebaliknya, Al-Ghazaly dan Al-Afghany mengharuskan kita berpolitik?
Jawabannya,mungkin, sederhana. Abduh berbicara tentang das sein atau fakta yang dilihat dan dialami sendiri pada masa itu, saat politik dikerjakan secara kotor, keji, penuh fitnah, dan koruptif. Adapun Al- Ghazaly dan Al-Afghany berbicara tentang das sollen atau keharusan untuk berpolitik secara bersih guna memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur.
Tampaknya,saat ini,kita sedang dihadapkan atau dipaksa melihat permainan politik seperti yang dirasakan dan dilihat oleh Abduh. Di depan mata kita, di negeri ini, permainan politik oleh banyak politikus sudah begitu kotornya. Politikus yang tertangkap melakukan korupsi masih membawa-bawa nama Tuhan dengan mengatakan tanpa tahu malu, “Ini ujian dari Allah karena Allah akan membesarkan partai kami.”
Astaghfirullah, ini gila. Alih-alih mengaku salah dan minta maaf sesuai dengan ajaran agama, malah mencari-cari alasan pembenar dengan membawa-bawa nama Allah. Meskipun begitu, kita tak boleh membuang das sollen, kita tidak boleh mengharamkan berpolitik, sebab yang terjadi sekarang ini adalah insidental saja.
Kita harus tetap berpolitik sebagai kenyataan yang tak terhindarkan dan harus menyehatkan parpol sebagai alat perjuangan yang sah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita tidak boleh terbawa oleh hujatan masyarakat yang marah dan berteriak agar parpol dihapus, melainkan harus bekerja keras untuk menyehatkan parpol. Parpol adalah keniscayaan di dalam negara demokrasi.
Di dalam negara konstitusional yang demokratis lebih baik ada parpol meskipun jelek daripada tidak ada parpol. Kesadaran kolektif yang harus dibangun adalah “sehatkan parpol”. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/abduh-politik-dan-agama.html
0 komentar:
Posting Komentar